Senin, 10 Agustus 2015

KEADILAN BAGI KASUS HUMAN TRAFFICKING



KEADILAN BAGI KASUS HUMAN TRAFFICKING
(Suatu tanggapan terhadap minimnya perhatian dari pemerintah dalam penegakan keadilan bagi kasus human trafficking di NTT)
 Oleh: Devison Armando Ittu, S.Th

Salah satu fenomena yang kini mencuat dan banyak dibicarakan di Nusa Tenggara Timur saat ini adalah mengenai kasus Human Trafficking (Perdagangan Orang). Tak cukup dalam pembicaraan saja, banyak pihak yang anti terhadap kasus ini membuat beberapa aksi untuk menyadarkan pemerintah serta pihak-pihak yang yang berkepentingan di dalamnya untuk segera menangani kasus-kasus yang telah parkir dan juga menangkap para pelaku kejahatan manusia tersebut. Namun rupanya berbagai pembicaraan dan aksi yang dilakukan belum terlalu cukup bagi pemerintah dan kepolisian untuk serius menanggapi kejahatan tersebut.

DAHAGA KEADILAN. Kasus kekerasan yang sudah nyata dan dirasakan oleh para TKW selama ini sangat-sangat tidak manusiawi. Beberapa kasus yang dapat kita sebutkan seperti: Nirmala Bonat, Wilfrida Soik, penyekapan puluhan TKW di Medan dan masih banyak kasus lainnya berkisah soal orang NTT yang diperlakukan tidak manusiawi seperti diperbudak, disiksa, dipukuli dan dipulangkan dengan tidak membawa uang. Tak hanya itu, beberapa dari para TKW yang dipulangkan tetapi tidak bernyawa lagi. Sungguh satu kejahatan kemanusiaan yang perlu ditindaklanjuti secara serius demi penegakan keadilan bagi orang yang lemah.
Banyak pihak yang kemudian menjadi sorotan publik dengan harapan yang besar agar keadilan segera ditegakan. Penilaian masyarakat NTT terhadap pemerintah Provinsi adalah terlalu "dingin" dalam menanggapi kasus ini. Penilaian yang dilakukan oleh masyarakat ini dikarenakan human trafficking merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang mestinya mendapat perhatian serius. Keresahan masyarakat semakin terasa ketika NTT sekarang menyandang status sebagai yang memiliki kasus human trafficking tertinggi di Indonesia. Orang-orang yang berkepentingan di dalamnnya dibiarkan begitu saja, bahkan para calo perekrut tenaga kerja bebas keluar masuk kampung tanpa ada yang menegur atau mencegah. Para calon tenaga kerja dimanipulasi data dirinya di kantor pemerintahan; di Dinas Kependudukan dan Imigrasi. Oleh karena itu, otoritas pelabuhan laut dan udara mestinya tahu sehingga dijaga dengan ketat karena kedua wilayah ini menjadi pintu bagi keluar masuknya para tenaga kerja.
Sampai kapan keadilan ditegakkan jika kasus-kasus tersebut masuk dalam zona “pembiaran”. Dibiarkan begitu saja seolah-olah para tenaga kerja tidak memiliki hak untuk mendapatkan keadilan di negeri ini. Mereka bagaikan objek dari ketidakadilan bahkan icon dari propinsi yang sekarang pamornya telah diangkat untuk dikenali di seluruh wilayah di Indonesia.
Melihat persoalan tersebut, maka pertanyaan yang perlu kita keluarkan adalah; apakah para tenaga kerja yang mendapat kasus kekerasan dan pelecehan layak mendapatkan keadilan di negeri ini? Atau memang tidak ada ruang lagi untuk mendapatkan keadilan karena mereka tak memiliki uang untuk membuka pintu dalam menjalankan proses keadilan yang sesungguhnya? Mungkin peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga” yang dipegang oleh pemangku kepentingan sehingga hal ini terus saja dibiarkan terjadi. 
Pemerintah sekarang tak ambil pusing terhadap masalah ini kemudian mengalihkan sorotan harapan masyarakat. Kantor Polda NTT kini menjadi sorotan publik dalam penanganan kasus dan penegakkan keadilan. Masyarakat tentu mendukung dan mengapresiasi pihak-pihak yang dengan sungguh-sungguh bertugas dan menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini. Masyarakat hanya berharap agar mata rantai mafia trafficking segera diputuskan, para calo tenaga kerja diseret dan diadili sesuai ketentuan yang berlaku, para pemimpin PJTKI, Dinas Kependudukan dan Imigrasi diperiksa. Dan Polda NTT juga perlu dibersihkan dari unsur-unsur mafia tersebut.

MANUSIA JUAL MANUSIA. Dalam dunia perekonomian, pencarian keuntungan tak lagi dibendung jika seseorang sudah termotivasi untuk bagaimana mendapatkan uang yang banyak. Sebagai bagian dari bersaing dalam bertahan hidup, setiap orang memiliki caranya tersendiri untuk mendapatkan uang demi kehidupan yang lebih baik. Berbicara mengenai penjualan barang, makanan dan jasa merupakan hal biasa bagi manusia. Namun, kini berbicara mengenai “manusia jual manusia” bukan lagi hal biasa tertapi luar biasa. Mengapa luar biasa? Karena bagaimana mungkin manusia sudah menganggap sesamanya seperti "seikat sayur kangkung" yang dipersiapkan untuk dijual. Sayuran saja yang dalam persiapan untuk menjualnya dibersihkan agar tampak segar sehingga diminati banyak orang. Namun, manusia yang dalam persiapannya sebagai tenaga kerja “disekap” bahkan disiksa lalu diperjualbelikan.
Melihat realita di atas, tepatnya kita perlu jujur untuk mengatakan pada generasi sekarang agar menyadari diri sebagai ciptaan Tuhan yang lebih mulia. Ciptaan yang harganya tak ternilai sehingga tak patut untuk diperdagangkan. Rupanya bagi para pelaku kejahatan ini, dalam kesehariannya tidak hanya bertanya “hari ini makan apa” tetapi “hari ini makan siapa”? Manusia seakan tak punya hati lagi bahkan tak berperikemanusiaan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka generasi apa lagi yang dihasilkan ke depan? Penjualan manusia yang kini sangat meresahkan ini perlu diperangi secara bersama-sama. Kita perlu sepakat bahwa generasi sekarang perlu diperbaharui dari perilaku-perilaku kejahatan tersebut.
Kita seakan memandang sesama sebagai sosok yang tak punya harga diri lagi. Mari dengan sehati dan sepakat bahwa human trafficking adalah suatu kejahatan yang perlu dibersihkan dari negeri kita. Mari dengan satu suara untuk menyerukan keadilan bagi mereka yang sekarang ada dalam zona “pembiaran”. Untuk sampai pada tahap itu, maka pemerintah, tokoh-tokoh agama, mahasiswa dan masyarakat perlu memiliki satu komitmen yang kuat, satu hati dan satu suara menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya saling melengkapi, bukan untuk dijual.
Bagi pemerintah yang baik dan bagi polisi yang misinya untuk mengayomi, segeralah untuk bertindak karena masyarakat tidak ingin keresahan ini terus dirasakan. Berilah ruang bagi pengaduan kasus trafficking untuk diproses. Tegakkanlah keadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Martabat dan harga diri perlu diutamakan dari kepentingan-kepentingan manusia dalam mencari uang. Citra manusia sebagai ciptaan yang mulia perlu ditegakkan kembali karena otoritas Tuhan dalam menciptakan manusia adalah sebagai mandataris untuk mengelola dunia dan segala isinya, bukan membiarkan diri untuk dikelola bahkan diinjak-injak martabatnya. Singkatnya, inti pesan yang diberikan oleh masyarakat kepada pemimpin dan lembaga penegak keadilan adalah; kita adalah sesama manusia dalam satu negeri yakni flobamora, yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Berilah keadilan karena masyarakat membutuhkan keadilan dan bertindaklah agar kejahatan human trafficking tidak merusak negeri kita sendiri. Salam dari generasi anti Human Trafficking.

Minggu, 09 Agustus 2015

"PEMILU DALAM PERSPEKTIF ETIKA UNTUK MELAYANI"

"PEMILU DALAM PERSPEKTIF  ETIKA UNTUK MELAYANI"

Menyimak fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara terkini, serta mengikuti perkembangan-perkembangan informasi yang terjadi, salah satu isu yang paling urgen dan mencuat naik ke permukaan publik dan terus diperbincangkan diseluruh tataran kehidupan warga Negara adalah informasi menjelang persiapan pelaksanaan pemilu diberbagai daerah sebagai proses siklus rotasi kepemimpinan dalam mendinamikai makna demokrasi di Indonesia. Menelisik juga beberapa rekomendasi pikiran yang dipublikasi lewat tulisan pada media cetak tentang bagaimana hakikat pemilu itu dapat ditanggapi secara utuh dan menyeluruh baik oleh pemimpin dan warga Negara dalam kapasitas memiliki tangungjawab yang sama dalam hak dan kewajiban dalam politik, pemilu dan demokrasi di Indonesia diatas kedaulatan rakyat. Tentunya menjadi harapan kita ketika kita diperhadapkan pada kondisi di tahun 2015 dengan hiruk pikuk nuansa kehidupan sosial politik yang penuh warna, dan agenda terbesar pemilu diberbagai daerah diseluruh Indonesia untuk dapat membawa kecenderungan positif terhadap pengaruh kehidupan bernegara untuk mewujudkan kedamaian, keadilan, kebenaran, kesejahteraan, keutuhan ciptaan, dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih. Sehingga hakikat pemilu dan produk hasil pemilu, jelas sebagai bentuk panggilan akan Tuhan dan panggilan akan lingkungan dalam bingkai demokrasi bangsa.
Berkaca kembali pada pemilu 2004 proses awal kedaulatan rakyat benar-benar dijalankan dan meneropong pemilu yang akan dilaksanakan pada 09 desember 2015 mendatang untuk pemerintah daerah, kabupaten dan kota.  Pemilu bukanlah proyek segelintir elite tetapi proyek besar seluruh rakyat Indonesia dan sudah saatnya pengelolaan seluruh kegiatan pemilu desember 2015 mendatang diarahkan pada prinsip kemitraan. Maksud daripada prinsip kemitraan yaitu menjadikan warga Negara sebagai teman sekerja dalam pemerintahan dalam meletakkan fondasi awal pemerintahan yang baru, bukan lagi objek para elite dalam proses mencari suara secara massal.   Pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya dapat kita petik hasil yang terkandung didalamnya bahwa pemilu belum seutuhnya diarahkan kepada muara jujur, bersih, adil, bebas, dan rahasia. Kalaupun sudah,! mungkin saya bisa mengambil hipotesis sementara bahwa hanya bebas dan rahasia yang telah dijalankan tetapi jujur, bersih dan adil masih jauh dari harapan terhadap kenyataan yang ada.

Politik Dan Pemilu
Implementasi nyata dari sebuah Negara yang menganut asas demokrasi adalah tidak mengabaikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam kapasitas suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Hal ini mengandung makna konkrit bahwa ketika pemilu diimplementasikan sebagai alat politik dan dipakai untuk memilih seorang pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi. Itu artinya rakyat sebagai pemegang kendali penuh dalam politik, pemilu, dan demokrasi. Rakyat hanya memberikan tugas, tanggungjawab kepada pemimpin terpilih sebagai pemimpin yang melayani rakyat, bukan pemimpin yang menguasai untuk berkuasa. Mengutip makna politik yang didengungkan oleh Johanes Leimena bahwa politik bukanlah sebuah alat kekuasaan, tetapi sebagai etika untuk melayani. Sebuah catatan penting yang harus digaris bawahi bahwa siapapun dia  yang hidup diatas dapur politik dan menjadi pemimpin dari proses hasil pemilu, janganlah jadikan politik sebagai alat kekuasaan. Tetapi sesungguhnya ketika dia seorang pemimpin dari proses pemilu dan hidup diatas dapur politik adalah seorang pelayan yang melayani tanpa pandang bulu, tanpa memandang SARA, dia sebagai seorang pemimpin memikul tugas moral dipundaknya dengan substansi makna yang sangat tinggi sebagai pelayan Negara terhadap warga negaranya, sehingga tidak ada ruang mengedepankan kepentingan kelompok maupun golongan tetapi mengedepankan kepentingan rakyat seagai pemberi kekuasaan dalam politik. Dalam Negara yang menerapkan sistem demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan pemerintahan, pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya. Dengan demikian pemilu menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara demokratis. Sehingga melalui pemilu memberikan mandat yang sebenarnya kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan, diantaranya; pertama, menjalin kontrak sosial. Maksud kontrak sosial yang digunakan oleh JJ. Rosseau dalam kajian ilmu politik untuk menyebutkan konsep Negara yang dilandasi perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah. Dan juga bisa kita deskripsikan adanya pihak-pihak yang bersepakat untuk mengadakan perjanjian dengan tujuan bersama. Kedua, terlibat dalam restrukturisasi sistem pemerintahan. Pemerintah melibatkan warga negaranya untuk menentukan nasib masa depan Negara dengan memilih orang yang tepat sebagai pemimpin. Ketiga, meletakkan dasar harapan baru dengan adanya pemerintahan yang baru. Dasar harapan yang baru dimaksudkan untuk tidak melenceng jauh dari amanah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni ; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Pemilu Bukan Alat Kekuasaan
Jika kita kaitkan politik dengan pemilu, dapat kita interpretasikan bahwa pemilu juga merupakan prasyarat politik sebagai bentuk konkrit dari dinamika perubahan yang secara prosedural merupakan proses signifikan pada tahapan realisasi dari semangat reformasi dan demokrasi. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa ketika pemilu dimaknai miring oleh kita semua dalam perspektif politik, hal ini dapat bermakna sebagai media berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan pribadi, kelompok, golongan dalam aplikasi nilai-nilai demokrasi. Fenomena ini merupakan hal yang sering terjadi ketika pemilu sering  dilangsungkan dan terdapat buah aib yang dipikul tanpa sadar, diantaranya praktek money politic, penggelembungan suara, rekayasa identitas untuk dapatkan suara, banyak janji sedikit realisasi, dan bahkan paling naas pula tidak sering keputusan tertinggi dari hasil pemilu yang berada ditangan rakyat kandas pada mahkamah konstitusi. Hal ini secara implisit dapat kita maknai terdapat banyak kesalahan-kesalahan yang prinsipil dari proses penyelenggaraan pemilu diberbagai daerah dan juga NTT khususnya. Janganlah sejarah berulang.
Pemilu Merupakan Etika Untuk Melayani

Dengan demikian ketika seluruh warga Negara terlibat dalam proses pesta demokrasi hal ini menunjukkan warga Negara sudah memiliki spirit hidup berdemokrasi didalam bingkai nasionalisme. Meskipun perlu ditelisik kembali ada beberapa hal yang menjadi catatan penting ; pertama, banyak kebimbangan yang terdapat pada setiap pemilih menjelang pemilu yang berdampak pada proses Golput. Kedua, menjadikan pemilu sekedar tuntutan rutinitas musiman dalam memberikan hak pilihnya. Tetapi juga perlu disadari oleh kita semua, baik sebagai pemimpin dalam kapasitas penyelenggara pemerintah maupun warga Negara sebagai pemegang kedaulatan penuh, hakikat pemilu jauh lebih dalam maknanya jika dibandingkan dengan beberapa kemungkinan-kemungkinan diatas diantaranya ; pertama, setiap suara yang diberikan sangat berharga bagi terbentuknya pemerintahan yang baru atas legitimasi pilihan rakyat. Kedua, berdampak pada suatu pemerintahan yang dapat dipercaya dan berdiri diatas dukungan rakyat. Yang terakhir dan yang paling penting makna pemilu dalam kancah politik tidak berakhir ketika seseorang sudah menjalankan hak politiknya dan memberikan suaranya ditempat pemungutan suara untuk memilih kandidat pemimpin dari figure salah satu partai. Tetapi pemilu dalam substansi politik pada asas demokrasi merupakan simpul awal diatas landasan etika untuk melayani agar terbentuk hubungan yang baik dari pemimpin yang melayani dengan pemegang kedaulatan yakni dari rakyat yang berimbang dan sederajat. Katakanlah juga sebagai konsep kemitraan antara pemimpin dan rakyat sehingga dari kedua unsur ini tidak ada yang  merasa dominan tetapi saling melengkapi. Salam Demokrasi Indonesia. TYM.
NAMA     : EBENHESER TANDE MAURE
STATUS   : Mahasiswa UNIVERSITAS PGRI
ALAMAT : , Jln Kincir Tuak Sabu Lasiana 27 Kupang
HOBI       : MEMBACA DAN MENULIS
NO HP     : 085253660096
Email       : ebenhesertandemaure@gmail.com

Perkembangan konflik dan upaya perdamaian Israel vs. Gaza/Palestina

Dalam konflik Israel vs. Gaza/Palestina, berbagai pihak dan entitas memainkan peran yang berbeda. Di bawah ini, saya akan merinci beberapa e...