TUGAS SEJARAH GEREJA INDONESIA II Oleh Thyto Kolimo
MODEL-MODEL
KONTEKSTUAL DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA
A.
ARTI,
MAKNA DAN HAKIKAT KONTEKSTUALISASI DI INDONESIA DARI SUDUT SEJARAH
1.
Arti kata “kontekstualisasi”
Istilah konteks digunakan dalam arti yang berbeda-beda.
Dalam hermeneutika, istilah konteks mengacu pada kalimat-kalimat yang
menyertai suatu bagian Alkitab sebelumnya dan sesudahnya (konteks dekat dan
jauh). Dalam hermeneutika, konteks juga dapat dipakai dengan arti kiasan
(konteks historis) yang mengacu pada situasi kondisi tertentu yang di dalamnya
suatu kitab disusun. Konteks dalam arti umum mengacu pada seluruh situasi
kondisi dunia yang dihadapi manusia (seluruh segi kehidupan di sekitar dan di
dalam diri kita). Arti inilah yang merupakan latar belakang istilah
kontekstualisasi. Dalam ilmu teologi, kontekstualisasi berarti kegiatan atau
proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita. Dalam
kontekstualisasi, diperlukan adanya kesadaran mengenai kekayaan tradisi budaya dan
menekankan pengaruh modernisasi serta hubungan-hubungan antar budaya dalam
kerangka perjuangan demi mewujudkan keadilan dan damai sejahtera.[1] Kata
kontekstualisasi berasal dari kata dasar konteks, yang artinya kondisi di mana
suatu keadaan terjadi.[2] Dari sudut bahasa, konteks adalah gagasan
yang digunakan dalam ilmu bahasa (linguistik, sosiolinguistik, linguistik
fungsional sistemik, analisi wacana, pragmatik, semiotika) dalam dua cara yang
berbeda, yakni lisan konteks dan konteks sosial.[3] Kontekstualisasi dapat merujuk pada tiga
hal, yakni kontekstualisasi (Alkitab terjemahan) atau proses penyampaian pesan Alkitab
(Amanat Agung); kedua, kontekstualisasi (sosiallinguistik), penggunaan bahasa
dan wacana sebagai aspek yang relevan dari situasi interaksional atau
komunikatif; contextualism, koleksi pandangan dalam filsafat yang menyatakan
bahwa tindakan hanya dapat dipahami dalam konteks.[4] Kontekstualisasi berarti
mengkomunikasikan injil dalam hal tepat untuk dimengerti oleh jemaat. Dalam
bidang penerjemahan Alkitab dan interpretasi, kontekstualisasi adalah proses
untuk menempatkan makna sebagai alat menafsirkan lingkungan di mana teks atau
tindakan dijalankan.[5] Kontekstualisasi diadopsi oleh gereja presbiterian di AS oleh pertemuan para ulama dalam
dana pendidikan teologi.[6]
Kontekstualisasi
pertama kali muncul dalam terbitan TEF (Theological Education Fund atau Dana
Pendidikan Teologi) pada tahun 1972. Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode
atau sebuah semboyan, melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh
sifat Firman Tuhan yang telah menjadi daging di dunia. Kontekstualisasi
mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih
dalam dari pada itu. Kontekstuaalisasi tidak mengabaikan konteks-konteks budaya,
memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan.[7]
Teologi tidak lain dan tidak bukan adalah mempertemukan secara dialektis,
kreatif serta eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang
universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Teologi juga adalah upaya
untuk merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan waktu yang
tertentu.[8]
Kontekstualisasi
bersifat dinamis bukan statis. Kontektualisasi mengakui sifat terus-menerus
berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan,
hingga membuka jalan bagi masa depan. Kontektualisasi tidak menyiratkan isolasi
bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Berkaitan dengan hal ini, maka
kontekstualisasi berarti bahwa
kemungkinan-kemungkinan pembaruan harus pertama-tama dirasakan pada
tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka
kesaling-tergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu
dan masa kini pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Kontekstualisasi pada
akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama
(dilihat dari dasar injil). Jadi kontektualisasi menjadi ciri utama refleksi
teologis yang autentik.[9]
Dengan
adanya teologi kontekstual memperlihatkan kepada kita bahwa adanya penghargaan
terhadap agama-agama suku. Teologi ini menekankan keprihatinannya atas berbagai
prinsip penafsiran, yakni penafsiran iman Kristen dalam situasi lintas-budaya
tetapi tetap berakar pada Alkitab. Teologi kontekstual menekankan perhatiannya kepada
kepedulian penuh terhadap kebudayaan sebagai acuan berteologi dan artinya bagi
dunia dan bagi cara pandang masyarakat, mengutamakan juga penekanan Alkitab
(perpaduan pengungkapan relasi antara pandangan dunia alkitabiah dan pandangan
dunia kebudayaan non-Barat). Selain itu, teologi kontekstual juga berusaha
mengakar-ulangkan iman Kristen ke dalam setiap kebudayaan dan merumuskan
kembali teologi Kristen ke dalam cara berpikir dari setiap kebudayaan atau dengan
kata lain teologi kontekstual menitik-beratkan apa maksud Allah dalam suatu
konteks budaya dan sejarah tertentu.[10]
2.
Makna
Kontekstualisasi
Dari hal di atas kita dapat melihat makna dari teologi
kontekstual, yakni teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat
memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seorang hidup dan berkarya. Teologi
kontekstual harus mampu menafsir dan membangun, artinya bahwa tidak hanya ada
jawaban-jawaban teologis yang tradisional yang dapat dipahami dengan cara yang
berbeda, tetapi ada berbagai pertanyaan yang berbeda dalam setiap budaya.[11]
3.
Hakikat
Kontekstualisasi[12]
Kontekstualisasi menekankan keprihatinan menurut tempat
dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang
dimaksudkan bagi semua orang. Jadi, kontekstualisasi pada akhirnya membantu
solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama. Dalam hal ini,
kontekstualisasi mencegah agar amanat Alkitab tidak dibelenggu dan ditaklukkan
oleh konteks.
B.
MODEL-MODEL
KONTEKSTUAL DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA
1.
Model-Model Kontekstualisasi
Adapun model-model kontekstualisasi menurut David J. Hesselgrave dan Edward Rommen,
yakni sebagai berikut:[13]
a. Metode
dialog liberal - mencari kebenaran
Metode ini dimulai dari dialog antara orang-orang
dari kepercayaan-kepercayaan yang hidup. Peserta-pesertanya adalah dari agama
Kristen, Muslim, Budha dan Hindu. Programnya mencakup kesempatan beribadah
bersama secara sukarela di bawah tema “makna dan praktik spiritualitas”. Dialog
tersebut berfungsi sebagai tanda pengharapan, memperkenalkan kepada mereka
suatu spiritualitas baru antar iman. Dialog ini bukan merupakan tujuan, tetapi
permulaan dari kontekstualisasi. Metodenya adalah mencari kebenaran (baru)
melalui dialog yang tidak bertikai. Hasilnya, yakni dapat memulai hubungan baru
antara Allah dan umat manusia serta antara manusia dan manusia lain.
b. Metode
dialektis neo-liberal – menemukan kebenaran
Metode ini diambil dari teologi pembebasan
Gutierrez. Ia tidak mulai dengan Alkitab (bahkan dengan tradisi), tetapi dengan
tanggapan peka terhadap penderitaan manusia. Tujuannya adalah perbaikan dunia
dan bukan kelahiran baru manusia. Teologi itu dipahami sebagai penggenapan fungsi
kenabian, karena dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah bermaksud untuk
mengungkapkan dan memberitakan maknanya yang mendalam. Secara pribadi hal ini
terlihat di mana bangsa-bangsa, kelas-kelas sosial, dan orang-orang berjuang
untuk membebaskan diri dari dominasi dan penindasan oleh bangsa-bangsa,
kelas-kelas sosial dan orang-orang lain. Kerangkanya adalah perjuangan
dialektis antara bangsa-bangsa, kelas-kelas dan orang-orang dalam dunia masa
kini. Metodenya adalah menemukan kebenaran dengan ikut serta dalam perjuangan
tersebut dan menghadapkan agenda dunia secara kenabian yang bijak. Hasilnya
“hermeneutika Injil yang politis” yang menyerukan manusia untuk menjadikan
dunia ini tempat yang lebih baik (yang dianggap sama dengan mendirikan
Kerajaaan Allah).
c. Metode
dialektis neo-ortodoks – menemukan kebenaran
Pandangan ini dekat dengan pandangan neo-liberal
dalam metodenya. Persamaannya terdapat dalam tekanan pada konteks historis masa
kini, yakni konteks dalam mana kita hidup dan berteologi. Perbedaan yang
mendasar lebih percaya kepada jiwa si pelaku teologi, sedangkan yang disebut
belakangan lebih percaya pada roh Allah yang menerangi teologi.
d. Metode
didaktis ortodoks – mengajarkan kebenaran
Pandangan-pandangan Nicholls, Kato, Matheny,
Geisler, Inch, Parshall, Escobar, Richardson tentang kontekstualisasi muncul
dari komitmen kepada Alkitab yang berwibawa penuh dan minat untuk menginjili
dunia sesuai dengan Amanat Agung Kristus (Mat. 28:16-20). Istilah-istilah kunci
dalam metode ortodoks(dialog, Injil, iman, ajaran) mendapatkan artinya dari
Alkitab. Konteks kontekstualisasi adalah sistem-sistem kepercayaan bukan
Kristen. Metodenya adalah mencari dasar bersama atau membangun jembatan komunikasi
sehingga orang-orang yang tidak percaya dapat diyakinkan akan kebenaran Injil
Alkitabiah, lalu mengajarkan Alkitab kepada mereka yang sudah diyakinkan. Hasil
yang diharapkan adalah transformasi rohani dari orang yang percaya kepada
Kristus dan hal menjadikan bangsa-bangsa menjadi murid-murid-Nya.
Selain model-model di atas, ada pun model-model yang
lain menurut Robert J. Schreiter,
C. PP. S,
yakni:[14]
a) Model
Etnografis
Model
etnografis secara khusus memberikan perhatian kepada jati diri. Berbagai keprihatinan
itu sering menjadi jelas dalam tahap-tahap akhir kolonialisme atau dalam
penegasan kembali suatu jati diri dan martabat yang telah disangkal. Kebutuhan
utuk menjalin kebangsaan di antara masyarakat yang beraneka ragam, untuk
menciptakan berbagai jati diri dan loyalitas supra-kesukuan, mempertahankan
sejumlah kemiripan dari hubungan dan ritual keluarga tradisional di
tengah-tengah dislokasi adalah menjadi tugas dari model ini.
Adapun
kelemahan-kelemahan dari model ini, yakni perkembangan suatu teologi lokal yang
kontekstual sering dilakukan sebagai suatu proyek belaka. Akibatnya, berbagai
masalah yang mungkin untuk dibahas tidak mendapat waktu untuk dialog tersebut.
Selanjutnya, pendekatan ini juga mengabaikan berbagai faktor yang berkonflik
dalam lingkungannya demi mempertahankan keselarasan dan perdamaian, dapat
menjadi korban romantisisme budaya sehingga tidak mampu melihat dosa dalam
pengalaman historis.
b) Model
Pembebasan
Model
ini berkonsentrasi pada dinamika-dinamika perubahan sosial dalam masyarakat.
Pendekatan-pendekatan ini khususnya dikaitkan dengan Amerika Latin, tetapi juga
dapat ditemukan di mana pun orang-orang Kristen mengalami penindasan politik,
ekonomi dan budaya. Model pembebasan menganalisis pengalaman yang dijalani
sekelompok masyarakat untuk mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang menindas,
perjuangan, kekerasan dan kekuasaan. Atau dengan kata lain model ini memusatkan
perhatian pada perlunya perubahan. Metode ini dapat ditemukan dalam lagu-lagu,
dalam kelompok dan dalam hati orang yang tertindas. Model ini juga memiliki
kelemahan yakni lebih memberi perhatian kepada jeritan rakyat daripada
mendengar kesaksian Alkitab, melakukan refleksi hanya setelah mengambil
tindakan, terlalu memusatkan perhatian pada ketidakmampuan dan mengenyampingkan
berbagai perwujudan anugerah.
2.
Kontekstualisasi
di Asia[15]
Teologi kontekstualisasi di Asia telah
bertumbuh sampai sekarang dan mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya
teologi-teologi kontekstualisasi menemukan berbagai masalah dan menimbulkan
pokok-pokok perdebatan dalam bidang misiologi. Gerakan-gerakan seperti gerakan
Asia menentang dominasi Eropa dan Amerika sejak awal abad XX dan gerakan tiga
mandiri Kristen Cina yang sedang berjalan pada zaman Mao Ze Dong yang mengambil
sikap positif terhadap revolusi Cina dengan membedakan diri dari keKristenan
Eropa atau Barat yang bersifat impereialis. Gerakan-gerakan ini yang mengawali
proses “Teologi yang kontekstual” di Asia. Popularisasi istilah
kontekstualisasi dimunculkan oleh kalangan Theological Education Fund (TEF)
tahun 1973 dan lembaga-lembaga Sekolah Tinggi Teologia di Asia Tenggara
(melalui ATESEA dan SEAGST) telah memasuki atau mulai mengikut arus tersebut.
Pusat-pusat perkembangan teologi kontekstual dapat direkam melalui
publikasi-publikasi karya tulis para teolog Asia.
Pada dekade yang sama (1960-an),
misiolog Horst Buerkle memperkenalkan sumbangan pikiran teologis dari wilayah
India tahun 1966. Empat penulis dari India: Surjit Singh, John G. Arapura, J.
Russel chandran dan Herbert Jai Sings. Semua penulis memperkenalkan
diskusi-diskusi teologis-misiologus yang ssedang digumuli pada waktu itu,
antara lain: Yesus historis dari segi India, teologi dalam konteks pikiran
India, penemuan kembali akan simbol, teologi masyarakat, Samnyasa (suatu hidup
yang relevan untuk India masa kini), Kristus yang kosmis. Khusus untuk
memperkenalkan suara Indonesia bagi pembaca Jerman, Rolf Italiander menyunting
buku dengan judulnIndonesiens verantwortliche Gesellschaft tahun 1976. Tema
yang dibahas penulis-penulis Indonesia adalah sejarah, politik, masyarakat,
agama dan gereja di Indonesia, namun masih berupa informasi masalah.
Suaru-suara dari Asia lebih banyak lagi diperdengarkan dalam forum-forum bacaan
berbahasa Inggris, seperti: buku suntingan
G.H. Anderson “The Theology of the Christian Mission”. Dari antara 26 penulis ada 3 orang Asia: Paul
D. Devanandan (India), Lesslie newbigin (Uskup Gereja India Selatan) dan
Masatoshi Doi (Jepang). Sumbangan mereka mengisi diskusi sekitar kekristenan
dan kepercayaan-kepercayaan yang hidup di Asia, sedangkan tentang teori misi diisi
oleh penulis-penulis terkenal di Eropa dan Amerika. G.H.Anderson berhasil
menyunting buku berjudul Asian Voices in Christian Theology, 1976. Sesuai judul
buku ini, para penulis dari teolog-teolog yang berasal dari India (sebelah
Barat) sampai Jepang (di Timur) sebanyak 9 negara: M.M. Thomas (India), Lynn A.
De Silva (Srilangka), U Kyaw Than (Birma), Kosuke Koyama (dianggap dari Taiwan
karena bekerja di sana sebagai misioner dan teolog), T.B. Simatupang
(Indonesia), Emerito P. Nacpil (Filipina), Chaon Seng Song (Taiwan), Thongshik
Ryu (Korea) dan Yoshinabu Kumazawa (Jepang). Menurut penyunting, teolog Asia
mencoba untuk merumuskan suatu pemahaman mengenai iman kristiani yang relevan
untuk konteks kebudayaan yang hidup di Asia. Suara-suara teologis-misiologis
Asia semakin terdengar nyaring dikumandangkan oleh Douglas J. Elwood tahun
1976. Dikatakan semakin nyaring karena di sana diikutkan suara-suara yang
berasal dari forum-forum resmi dari gereja-gereja atau lembaga-lembaga
pendidikan teologi di Asia (EACC/CCA dan SEAGST).
Saat upaya teologi kontekstual
di Asia berkembang muncullah suatu polarisasi tingkat internasional antara apa
yang dikenal dengan kaum evangelikal dan ekumenikal di kalangan organisasi PI
pada konferensi “Commision on World Mission and Evangelism” (CWME) tahun
1972/1973 dengan tema “Salvation Today”. Polarisasi terjadi karena perbedaan
pemahaman mengenai Pekabaran Injil. Tujuan utama PI dari kaum Evangelikal
adalah pertobatan, sedangkan pelayanan sosial dan aksi sosial cenderung
diabaikan, karena itu dianggap bukan lagi tugas pekabar Injil.
Menurut E.G. Singgih dalam bukunya “Dari
Isarel ke Asia” tahun 1982, bahwa dalam kontekstualisasi perlu dilakukan
interpretasi terhadap ketiga konteks suatu kata atau gagasan tertentu:
1. Artinya
sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Suci;
2. Artinya
sebagaimana terbentuk dalam tradisi sistematis;
3. Artinya
sebagaimana yang dipahami dalam konteks setempat masa kini. “Pra-paham” dalam
diri setiap orang sangat penting diperhatikan dalam upaya berteologi
kontekstual. Dan sesuatu yang datang dari luar itu dapat diterima apabila ada
kesesuaiannya dengan apa yang ada di dalam.
3.
Kontekstualisasi
di Indonesia
Pengupayaan kontekstualisasi dalam konteks Indonesia
dapat dilihat dari perjuangan yang dilakukan oleh Kyai Sadrach (1835-1924).
Dengan latar belakang pendidikan di Pesantren dan pertemuannya dengan bekas
gurunya serta kekalahannya dalam perdebatan dengan seorang penginjil Jawa
bernama Tungul Wulung membuatya sangat tertarik pada Iman Kristen. Ia sangat terkesan
ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh penginjil itu yakni orang
Kristen Jawa tidak harus meninggalkan adat Jawa, orang kristen Jawa hendaknya
tetap menjadi orang Jawa. Dengan hal ini ia dibaptis menjadi seorang Kristen.
Pada tahun 1870, ia membentuk dan memimpin sebuah persekutuan Kristen di desa
Karangjoso. Menurut warga desa setempat, desa itu dianggap angker namun dengan
berani ia mengabarkan Injil di tempat itu. Model yang digunakan oleh Sadrach
dalam penginjilan adalah berdiskusi atau berdebat. Pada tahun 1894 ia mendapat
tugas untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Tengah. Orang Belanda menuduhnya
sombong dan haus akan kekuasaan. Jemaat yang dipimpinnya berkembang dengan
sistem organisasi yang mantap. Pada akhir tahun 1873, keanggotaan jemaatnya
sudah mencapai hampir 2500. Hal ini menimbulkan kecumburuan dari lembaga
zending dan pendeta Indische Kerk, dengan NGZV maupun dengan pemrintahan
Belanda. Sadrach dan pengikutnya dituduh bahwa mereka belum hidup benar secara
Kristen bahkan ajaran dan praktik Sadrach dinilai sesat dan mengarah pada
berhala.[16]
Selain itu mereka juga dituduh mengancam kestabilan, ketentraman dan ketertiban
umum juga menuduh Sadrach sebagai pimpinan yang sesat dan ajarannya sebagai
campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaat Sadrach merupakan
gejala keagamaan yang unik karena merupakan hasil karya para Pekabar Injil awam
Kristen Indo Eropa yang merasa terpanggil untuk menginjil orang-orang Jawa.
Mereka lahir dari budaya Jawa yang dipelihara, dikembangkan dan dibangun oleh
mereka. Dari hal ini muncullah suatu jemaat pribumi berpenampilan Jawa.[17] Sadrach
mengembangkan suatu jemaat Kristen pribumi yang menampakkan diri dalam
organisasi, kepemimpinan, pengajaran dan tradisi yang bukan hanya mengakar pada
dan diilhami oleh berbagai nilai tradisional dan adat Istiadat Jawa, tetapi
juga merupakan koreksi terhadap nilai budaya itu sendiri. Namun
hal ini mengalami kendala dari pihak Belanda yang kurang mendukung proses yang
dimaksud. Muncul dan berkembangnya
jemaat dapat dipahami secara baik ketika melihat perspektif kepribadian dan
kepemimpinan Sadrach sebagai orang Jawa. Sadrach adalah suatu sosok yang sangat
menonjol berdiri pada permukaan masyarakat Jawa yang tenang. Latar belakangnya sebagai seorang guru ngelmu dan kyai merupakan faktor penting dalam pembentukan
kepribadian dan kepemimpinannya. Dia adalah seorang pemimpin yang mandiri,
sebagai penginjil yang tidak dibayar. Hal ini mendorong pembentukan jemaat
setempat. Kepemimpinannya yang benar-benar Jawa, memberikan arah dan warna
sedemikian rupa sehingga jemaatnya menjadi
jemaat Kristen Jawa yang unik. Jemaat Sadrach berkembang bebas dari pengaruh
misionaris. Jemaat Sadrach tersusun terutama dari tradisi kecil para petani yang
memiliki pendiidkan melalui sistem
informal yang lebih memenuhi kebutuhan dan kondisi di desa. Melalui sistem belajar magang masyarakat diajar
berbagai keterampilan yang diwarisi orang tua. Hal ini bertujuan untuk
mempersiapkan
para pemuda untuk aktif dalam kehidupan
sosial masyarakat
setempat. Sebagai pemimpin jemaat, Sadrach sangat prihatin akan pendidikan pemuda dan usaha perbaikan ekonomi.
Untuk itu dia menganjurkan sistem
pesantren dalam bidang pendidikan
sedangkan dalam bidang ekonomi, dia memanfaatkan bentuk koperasi yang telah ada dalam
masyarakat, mengadakan pengumpulan dana untuk membeli sebidang tanah. Dari hal
ini, kita dapat melihat bahwa Sadrach menjadi seorang pemimpin informal
kharismatik yang menyatukan orang-orang Jawa Kristen di pedesaan di bawah kepemimpinannya. Sadrach juga tetap menghargai kebudayaan
yang ada, karena baginya menjadi orang Kristen bukan berarti meninggalkan adat.
Untuk menyelaraskan iman Kristen dan kebudayaan Jawa, Sadrach cenderung
mendekati berbagai perbedaan dari kaca mata seorang Jawa dengan mencoba
mengharmoniskan sebanyak mungkin unsur budaya
Jawa dengan keKristenan dan memasukkan
unsur Islam Jawa dalam kehidupan jemaat (mempertahankan pemisahan laki-laki dan
perempuan dalam ibadah; dll). Hal ini tidak dimaksudnya untuk membuka jalan
bagi sinkretisme,
tetapi ia memilih adat atau tradisi yang dapat dikristenkan dengan
berhati-hati. Contoh dalam hubungan dengan penggunaan adat Jawa, yakni bentuk
gereja di Karangjasa dengan model masjid Jawa dengan penginterpretasian
berbagai simbol
secara unik berdasarkan pengertian Kristen (atap bersusun tiga merupakan simbol trinitas, cakra sebagai pengganti bulan sabit diambil dari cerita wayang diinterpretasikan
sebagai lambang kuasa Injil Allah). Inilah tahap awal pempribumian teologi.[18]
Mengenai bangunan Gereja, biasanya dibangun dengan
bahan-bahan yang terdapatt di desa yakni atap dari rumput dan daun kelapa,
dindingnya dari bambu dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Bangunan ini
mirip dengan langgar (rumah adat) yang ada di setiap desa di Jawa. Jemaat yang
lebih makmur biasanya mendirikan bangunan yang lebih baik, mirip dengan Masjid
di desa yang berbentuk seperti rumah biasa dengan bangunan terbuka dan atap
bertingkat tiga dan serambi yang luas. Bangunan Gereja yang berbentuk Masjid
menandakan bahwa mereka masih menyatu dengan kehidupan dan warisan masyarakat
desa. Selain lonceng Gereja mereka tetap menggunakan beduk sebagai panggilan
kebaktian, bebrapa gereja menggunakan kentongan yang terbuat dari bambu atau
kayu sebagai tanda bahaya di malam hari, beberapa gereja menggunakan meja kecil
sebagai mimbar, Alkitab diletakan di atas meja itu. Jemaat duduk di lantai
beralaskan tikar anyaman yang kasar (terbuat dari jalinan daun kelapa) gereja
biasanya didirikan di halaman rumah imam, gereja di Karangjasa memiliki atap
tiga tingkat dan sebuah senjata cakra (bentuk cakra bulat dengan beberapa anak
panah yang menjulur) diatas atap sebagai pengganti salib. Dalam hal berpakain
selama kebaktian jemaaat memakai busana jawa yang terdiri dari sarung atau kain
batik, surjan atau kemeja dan sebuah kain penutup kepala. Pria diminta
menanggalkan penutup kepala mereka selam upacara kebaktian, tetapi di beberapa
daerah tertentu wanita diminta menutup kepalanya dengan kain putih kecil.
Upacara kebaktian diadakan setiap hari
minggu (pukul 09.00 pagi dan 16.00 sore) dan pada hari-hari kudus.
Pemimpin kebaktian adalah imam. Dalam mendukung kebaktian Sadrach menyusun buku
pegangan sebagai panduan praktis bagi para pengikutnya, yang di dalam berisi
doa bapa kami, 10 perintah Allah, doa-doa untuk kepentingan individual dan
komunal. Pria dan wanita duduk terpisah. Ketika imam yang diikuti para penatua
masuk semua pria berdiri, bersama mengucapkan doa bapa kami dan setelah itu
duduk. Lalu kantung persembaha diedarkan. Kebaktian dimulai dengan persembahan,
doa syukur oleh imam, nyanyian pujian jawa (tembang) lalu dua pembacaan Alkitab
yang diselingi nyanyian diantara kedua bacaan itu. Khotbah lebih sering
didasarkan pada pengalaman pribadi daripada pemahaman Alkitab, kebaktian
diakhiri oleh doa syukur dan pemberkatan.[19]
Para
pemimpin jemaat gereja-gereja “arus tengah” di Indonesia sedang dalam keadaan
panik, bingung dan
tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini
dikarenakan adanya arus balik yang bermula dengan gerakan Pentakosta Baru atau Kharismatik dan selanjutnya gerakan “Injili”. Berbagai gerakan ini menganut
strategi “proselitisme ke dalam”, artniya beroperasi di kalangan mereka yang
telah menjadi anggota gereja tertentu (remaja, pemuda, mahasiswa,
kelompok-kelompok profesi, usahawan dan tokoh-tokoh masyarakat). Dalam hal ini,
banyak pemimpin jemaat hanya dapat melongo ketika melihat jemaat mereka masuk
ke dalam aliran tersebut. dari mereka banyak yang menjadi para aktivis yang
sangat giat. Bukan hanya anggotanya saja tetapi juga sebagian dari para
pemimpin gereja.
Sekarang
ini berbagai gejala ketegangan serta polarisasi telah semakin tampak pada dua
tingkat. Di tingkat pertama adalah tingkat nasional (PGI, PII, STT, STTI). Kita
dapat mengatakan bahwa ketegangan dan polarisasi pada tingkat nasional belum
sampai pada titik kritis yang serius tetapi hanya bersifat sementara saja. Pada
tingkat yang kedua, kedua hal ini pada tingkat jemaat telah menjadi semakin
kritis dan serius. Para pemikir dan teolog Kristen di Indonesia menganggap
berbagai gejala di atas terlampau kecil dan remeh dan hanya ibarat mode yang
top. Namun, hal ini perlu ditanggapi serius
karena tidak hanya merupakan masalah waktu sekarang melainkan juga
menyangkut masa depan. Gejala ini membuktikan betapa rapuh dan tipisnya
penghayatan secara pemahaman teologis warga jemaat pada umumnya. Hal ini
menunjukkan kegagalan kita dalam membina. mereka tertarik karena berbagai
khotbah yang menyangkut masalah praktis sehari-hari, nyanyiannya menggerakan
dan mengentarkan hati, suasananya akrab, hangat dan hidup. Ini menunjukkan
adanya kebutuhan jemaat.
Melihat
permasalahan di atas, kita memerlukan sebuah teologi yang kontekstual, suatu
suasana yang membantu menguatkan mereka dalam pergumulan sehari-hari. Gerakan
Pentakosta Baru dan Kharismatik memang secara gambling menunjukkan kemiskina
spiiritualitas dalam kehidupan jemaat. Hal ini dikarenakan keduanya membuat
orang berorientasi pada diri sendiri, menyuburkan cirri introvert, insklusif,
individualistis, dualistis dari tradisi teologi yang justru harus dihindari.
Yang satu membuat orang asyik dengan kenikmatan rohani diri sendiri dan yang
lain cenderung mmebuat orang menjadi picik karena terlampau mengagungkan
kebenaran dan keunggulan kelompok sendiri. Ketika konteks kehidupan berubah,
maka diperlukan pula suatu teologi yang baru keran teologi kontekstual selalu
bersifat dinamis dan kreatif, cepat, tanggapan terhadap konteksnya.
Sekarang
bagaimana mempertemukan teks dan konteks? Hal ini amat tergantung pada
pemahaman kita mengenai hakikat teks dan konteks serta tempatnya di dalam
teologi. Teologi selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yakni bahwa
Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan
kehendak-Nya di sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman
dan kehendak-Nya adalah mengenai kebenaran dan keselamatan serta kesejahteraan
manusia bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya berlaku bagi siapa
saja, di mana dan kapan saja. Untuk memulai hal ini, haruslah berpatokan kepada
Alkitab, yang di dalamnya Allah berkenan menyatakan kehendak-Nya yang kekal dan
universal melalui berbagai tindakan-Nya pada suatu konteks ruang dan
waktu, secara historis dan kontekstual.
Teologi juga harus memperhatikan tradisi, yang adalah sumber kesaksian tentang
upaya umat Kristiani untuk memahami kehendak Allah di sepanjang masa.
Selanjutnya, dari semua hal ini diambil kerygmanya dari konteks untuk hadir
dalam konteks itu. teologi kontekstual juga mengalami beberapa kendala, yakni
menghubungkan yang universal dan partikular.
4.
Relevansi Bagi Gereja
(Kontekstualisasi dalam GMIT dan GKS
a)
GMIT
KeKristenan dikenal di Timor (Barat)
akibat kedatangan para pendagang Eropa. Mula-mula datanglah para pedagang
Portugis, kemudian disusul oleh bangsa
Belanda pada abad ke 17. Timor memiliki dua komoditi unggulan, yakni cendana
dan lilin, namun secara ekonomi Timor tidaklah semenarik Maluku dan daerah
Indonesia Timur lainnya yang menghasilkan rempah-rempah. Periode pekabaran
injil baru mulai intensif sejak abad ke-19 karena berdirinya sebuah badan misi
NZG dan karena perubahan politik yang
diluncurkan oleh raja Willem I pada tahun 1814. Di mana semua urusan gereja itu
berada di bawah peraturan pemerintahan Belanda. Pendeta R. Le Brujin menjadi
pendeta di Kupang.[21]
Pdt. P. Midelkoop ditempatkan di Timor
(So’e Kapan). Ia sangat memperhatikan adat istiadat dan kebudayaan Timor
sehingga ia menjadi seorang ahli adat istiadat dan kebudayaan Timor. Ia sangat
mencintai Timor hingga dengan meninggalnya. Sebelum ia meninggal, ia meminta
agar peti jenazahnya dibungkus dengan kain Timor. Dalam kehidupannya, ia
berusaha untuk mengkontekstualisasikan injil bagi orang Timor. Ia menerjemahkan
nyanyian gerejawi dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Timor yang diterbitkan
pada tahun 1924. Di samping itu, ia juga mengadakan penelitian tentang upacara
kematian orang Timor dengan judul “suatu studi tentang ritus kematian orang
Timor”.[22]
GKS adalah gereja Kristus di Sumba dan
oleh karena gereja adalah gereja bagi orang Sumba. Orang Sumba harus tetap
menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya dalam
konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat-istiadat dan kebudayaan Sumba
tidak seluruhnya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk
melakukan kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKS sepanjang sejarahnya.
·
Arsitektur gedung gereja
Arsitektur gerejanya bergaya Eropa. Gedung gereja
ini mempunyai menara dan di dalam menara ini ditempatkan lonceng gereja yang
didatangkan dari Belanda. Arsitek gereja ini tidak dianggap sebagai suatu unsur
asing karena bentuk gereja ini sama dengan arsitektur rumah orang Sumba.
Sekalipun gedung gereja dibangun dengan menara, anggota jemaat tidak pernah
percaya bahwa Tuhan Allah berdiam di dalam menara tersebut sama seperti dalam
kepercayaan Marapu dan lonceng gereja tidak dipandang sebagai tanggu Marapu.
Pada mulanya gedung gereja beratap alang-alang dan dindingnya terbuat dari
bambu atau alang-alang juga. Namun gereja sekarang beratapkan seng dan
berdindingkan tembok sesuai dengan perkembangan pembangunan di Sumba. Tata
letak gedung gereja mengikuti tata letak rumah orang Sumba, yaitu memanjang
dari utara ke selatan. Pada masa sekarang, banyak gedung gereja dibangun
didekat jalan raya, namun tata letak Utara-Selatan tetap dipertahankan.
Arsitektur dan tata letak gedung seperti demikian memengaruhi pula pola duduk
anggota jemaat pada waktu beribadah. Kebiasaan duduk di rumah tampak pula pada
pola duduk anggota jemaat dalam gedung gereja. Para wanita akan duduk di
sebelah kanan dan laki-laki duduk di sebelah kiri. Suami akan duduk terpisah
dengan isterinya di dalam gedung gereja. Para pendeta utusan tidak pernah
melarang tata letak gedung gereja dan pola duduk anggota jemaat tersebut. Karena hal-hal tersebut dipandang tidak
penting dari sudut teologis.
·
Upacara Penerimaan Petobat Baru ke Dalam
Gereja : Upacara Panggarau Tau (Siapakah Anda)
Upacara
Panggarau Tau adalah suatu upacara yang biasa diselenggarakan dalam masyarakat
Sumba untuk menyatakan perdamaian antara kedua pihak (paraingu) yang berperang
serta penerimaan seorang penduduk desa yang merantau dan kini kembali lagi ke
desanya. Upacara ini dilaksanakan di tempat terbuka sehingga dapat disaksikan
oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini berlangsung sebagai berikut : kedua
belah pihak masing-masing diwakili oleh seorang juru bicara. Juru bicara pihak
perama menanyakan dari mana mereka datang, asal-usul, keturunan, maksud dan
tujuan kedatangan mereka. Juru bicara pihak kedua menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. pada akhirnya pihak pertama menerima pihak kedua
dengan ditandai oleh pemotongan seekor babi atau seekor kerbau serta
tukar-menukar tempat sirih. Upacara ini
bermakna bahwa sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mengenal. Pihak yang
datang dicurigai sebagai pihak yang bermaksud mencelakakan pihak penerima tamu.
Pihak yang pertama harus menjelaskan jati diri dan maksud kedatangan mereka.
Setelah pihak pertama mengetahui maksud kedatangan pihak kedua, pihak kedua
diterima sebagai saudara pihak pertama.
Bentuk upacara ini
diambil oleh GKS untuk menerima para peserta persidangan sinode dan petobat
baru, terutama apabila petobat baru ini dalam jumlah yang besar. Hal ini merupakan
inisiatif Pdt. Ratubandju (1967) yang kemudian dipergunakan dalam jemaat-jemaat
lain. Hal ini dipandang tepat karena
karena melalui baptisan mereka diperdamaikan dengan Kristus. Hal ini juga
dilakukan di depan masyarakat sehingga masyarkat mengetahui bahwa mereka telah
meninggalkan kepercayaan Marapu dan menjadi Kristen. Mereka telah diterima
kembali menjadi keluarga Allah.
· Lambang
Kuda Putih
Lambang
yang dipergunakan oleh GKS adalah kuda putih yang ditunggangi oleh seorang yang
berjubah putih dan bermahkota, sambil membawa panah pada tangannya yang siap
untuk ditembakkan kepada musuhnya
(berdasarkan Wahyu 6:2). Lambang ini adalah hasil kerja seorang guru Belanda,
keluarga seorang pendeta utusan di Sumba, namun ia sendiri tidak pernah ke Sumba.
Pada waktu GKS berdiri, ia mengusulkan hal ini dengan penjelasan demikian, kuda
putih merupakan binatang yang karab dengan masyarakat Sumba , sehingga binatang
itu bukanlah binatang yang asing bagi masyarakat Sumba. Seseorang yang menunggangi kuda dan membawa
panah memiliki makna tentang tugas dan panggilan di Sumba, yakni memberitakan
injil Kristus di Sumba. Dengan demikian, makna ini akan memiliki profetis.
Menurut
Pdt. Ratubandju, lambang yang dikirimkan kepada GKS agak berbeda denga lambang
yang dipakai sekarang. Dalam lambang aslinya, penunggang kuda tidak memakai
jubah. GKS berpendapat bahwa seseorang yang tidak berpakaian merupakan hal yang
kurang etis dan tidak sesuai dengan kebiasaan orang Sumba. Penggunaan kuda
putih juga merupakan hal yang tepat, karena kuda putih (kenusu) banyak
dipergunakan oleh ara raja dan bangsawan Sumba sebagai kuda tunganggannya.
Pemakaian lambang ini dipandang sebagai upaya kontektualisasi di Sumba.
·
GKS dan Nyanyian Gerejawi
Pada
zaman zending, penerjemaham mazmur ke dalam bahasa Sumba telah diusahakan. Van
Djik menerjemahkan 19 mazmur ke dalam dialek Waijewa, di jemaat Payeti, Sumba
Tengah, Mazmur dalam dialek Kambera dinyanyikan sejak tahun 1930 kemudian
dinyanyikan oleh berbagai jemaat lain di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kitab
Nyanyian pertama dalam dialek Kambera diterbitkan pada tahun 1941 oleh KOmisi
Lektur Zending Gereja-Gereja Gereformeed di Sumba dengan judul Na Ihina
Hoeratoe. Na Loedoe Pamalangoe, yang artinya berisi Alkitab dan Nyanyian
Mazmur. Kitab nyanyian ini berisi 37 Mazmur dan 11 Nyanyian Pujian serta
dilampiri dengan terjemahan Sepuluh Hukum, Dua Belas Pengakuan Iman Rasuli dan
Doa Bapa Kami. Nyanyian untuk anak-anak yang berjudul Na Ludu Bidi Ana
diterbitkan pada tahun 1950 yang disusun oleh U. Hina Kapita Mbanimeha yang
dimulai sejak tahun 1947. Nyanyian ini disusun dengan melihat berbagai segi
kehidupan. Dengan demikian, penyusun berusaha menyusunnya berdasarkan pola
pembagian tradisional nyanyian yang dikenal dalam masyarakat Sumba.
REFLEKSI
Dari semua yang telah kami uraikan di atas memberikan
kepada kita pencerahan bahwa kontekstualisasi bukan untuk menghilangkan
kebudayaan-kebudayaan yang ada tetapi, memakainya sebagai jalan masuk untuk
Pekabaran Injil. Seperti apa yang Yesus pesankan kepada kita dalam Matius 28
:19-20, pengikut-pengikut Kristus bertanggung jawab untuk menjadikan semua
bangsa muridNya. Hal ini bukan berarti mengkristenkan semua orang namun dengan
cara hidup kita setiap orang dapat belajar melakukan kehendak Tuhan. Berteologi
tanpa konteks adalah teologi yang mati.
Dari materi yang disampaikan diatas, ada beberapa hal
yang kita perlu refleksikan secara lebih mendalam untuk kemudian ditarik
relefansinya dalam kehidupan bergereja dan berteologi kita saat ini, yakni :
1.
Metode
berteologi yang dipakai harus mengacu pada konteks Asia yang ditinjau dari
berbagai segi kehidupan manusia (adat, budaya, filsafat, agama, sejarah, bahasa),
menunjukan kepada kita berteologi secara Kristiani haruslah memperhatikan
konteks di mana Firman Tuhan diungkapkan
mulai konteks Alkitab, sistematik sampai konteks masa kini.
2.
Bila
mencermati metode Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Sadrach, perlu diperhatikan
karena Sadrach terus menjaga identitas suatu budaya. Melihat hal ini kitapun
harus belajar dari dia, menjadi Kristen bukanlah meniadakan
kebudayaan-kebudayaan kita, bagi kami Kristus datang dan memperbaharui
kebudayaan-kebudayaan kita karena itu kebudayaan asli kita perlu dihargai dan
dihormati.
3.
Pada
konteks sekarang ini, munculnya berbagai dedominasi di kalangan Kristen
sendiri. Hal ini menimbulkan jemaat lebih memilih masuk kedalam dedominasi itu
dan meninggalkan Gereja asalnya. Melihat akan hal ini para pendeta terkhususnya
pendeta GMIT harus jeli melihat masalah ini dan mencari solusi yang tepat.
Pendeta harus mampu memnuhi kebutuhan jemaat karena apa yang diberikan belum
tentu memnuhi kebutuhan yang diperlukan.
4.
Dari
materi yang dibahas diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, adanya
penghargaan terhadap agama-agama suku dan kebudayaannya. Kebudayaan tidak
dihilangkan, tetapi diambil makna positifnya serta dijadikan jalan masuk untuk
Pekabaran Injil. Dalam zaman modernisasi kebudayaaan perlu dilestarikan. Salah
satu sumbangan baik yang dilakukan oleh Gereja adalah gubahan lagu-lagu daerah
dijadikan sebagai kidung pujian, tari-tarian dimasukan dalam unsur liturgi,
pemakaian bahasa daerah (Alkitab dalam bahasa daerah) dan lain-lain.
5.
Jika di lihat dari perjuangan dan
kecintaan pak Middelkoop terhadap budaya, mendorong kita untuk terus mencintai
dan melestarikan kebudayaa. Kita sebagai orang-orang yang berbudaya sebenarnya
jangan meninggalkan bahkan berusaha meninggalkan budaya tetapi terus memelihara
dan menjaga kelestarian budaya sehingga kebiudayaa asli tetap hidup. Kebudayaan
asli mendukung kita menjadi seperti sekarang dan ketika dia menjadi baik karena
kita pun baik bersamanya.
DAFRTAR
PUSTAKA
Wellem, F. D. Injil dan
Marapu : Suatu Studi Historis- Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan
Masyarakat Sumba Pada Periode 1876-1990 . Jakarta : BPK Gunung Mulia
Darmaputera, Eka
(Peyunting), Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004
Schreiner, Robert,
Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011
Bosch, J. David,
Transformasi Misis Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009
Hesselgrave, J. David,
Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010
Adams, J. Daniel,
Teologi Lintas Budaya : Refleksi Barat di Asia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010
Campbell-Nelson, John.
et. al. (eds), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, Jakarta : Persetia,
1995
Partonadi, Soetarman
S., Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya : Suatu Ekspresi keKristenan Jawa
pada Abad IX, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001
Telnoni, J A
(Penyunting), Apostelo Su : Aku Mengutus
Kamu, Kupang : CV. INARA
Drewes. F B*Mojau
Julianus, Apa Itu Teologi : Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2011
Colley, Frank L., Benih
yang Tumbuh XI, Jakarta : LPS DGI, 1976
Papper SGI I, Kaum Awam dan
Pekabaran Injil, Kupang
[1] B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu
Teologi, jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 153-154
[3] http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2228368-pengertian-konteks-menggunakan-bahasa, diakses di Kupang, Selasa, 24 April
2012, pukul 14.53
[4]http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Contextualization,
diakses di Kupang, Selasa 24 April, pukul 14.53
[5]http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.internetevangelismday.com/contextualization.php,
diakses di Kupang, Selasa, 24 April 2012, pukul 14.53
[6]http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Contextualization_%28Bible_translation%29,
diakses di Kupang, Selasa, 24 April 2012, pukul 14.53
[7] David J. Hesselgrave *Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2010, hal. 48-51
[10] Daniel J. Adams,
Teologi Lintas Budaya- Refleksi Barat Di
Asia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 6, 2010,
hal. 82-85
[12] B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK.
Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 156, 159
[13] David
J. Hesselgrave *Edward Rommen, Kontekstualisasi,
Makna, Metode dan Model, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2010, hal. 185-190
[14] Robert J.
Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal,
Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 9, 2011, hal. 24-29
[15] John Campbell-Nelson, Mengupayakan Misi
Gereja yang Kontekstual, Jakarta: Persetia, 1995, hal. 120-129
[17] Soetarman S.
Partonadi, Komunitas Sadrack dan Akar
Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada abad IX, Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2001, hal. 1-2
[21] Merry Kolimon,
dkk, Apostelo Su, Kupang : Universitas
Kristen Artha Wacana, hal. 7-9
[22] Frank. L.
Cooley, Benih yang Tumbuh XI, Jakarta
: LPS DGI, 1976, hal. 324-325
[23] F. D. Wellem, Injil dan Marapu, Jakarta : BPK Gunung
Mulia, Cet-1, hal. 268-273
Tidak ada komentar:
Posting Komentar