Senin, 20 Juni 2016

MODEL-MODEL KONTEKSTUAL DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA



TUGAS SEJARAH GEREJA INDONESIA II Oleh Thyto Kolimo
 MODEL-MODEL KONTEKSTUAL DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA


 

Add caption
A.       ARTI, MAKNA DAN HAKIKAT KONTEKSTUALISASI DI INDONESIA DARI SUDUT SEJARAH

1.        Arti kata “kontekstualisasi”
Istilah konteks digunakan dalam arti yang berbeda-beda. Dalam hermeneutika, istilah konteks mengacu pada kalimat-kalimat yang menyertai suatu bagian Alkitab sebelumnya dan sesudahnya (konteks dekat dan jauh). Dalam hermeneutika, konteks juga dapat dipakai dengan arti kiasan (konteks historis) yang mengacu pada situasi kondisi tertentu yang di dalamnya suatu kitab disusun. Konteks dalam arti umum mengacu pada seluruh situasi kondisi dunia yang dihadapi manusia (seluruh segi kehidupan di sekitar dan di dalam diri kita). Arti inilah yang merupakan latar belakang istilah kontekstualisasi. Dalam ilmu teologi, kontekstualisasi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita. Dalam kontekstualisasi, diperlukan adanya kesadaran mengenai kekayaan tradisi budaya dan menekankan pengaruh modernisasi serta hubungan-hubungan antar budaya dalam kerangka perjuangan demi mewujudkan keadilan dan damai sejahtera.[1] Kata kontekstualisasi berasal dari kata dasar konteks, yang artinya kondisi di mana suatu keadaan terjadi.[2] Dari sudut bahasa, konteks adalah gagasan yang digunakan dalam ilmu bahasa (linguistik, sosiolinguistik, linguistik fungsional sistemik, analisi wacana, pragmatik, semiotika) dalam dua cara yang berbeda, yakni lisan konteks dan konteks sosial.[3] Kontekstualisasi dapat merujuk pada tiga hal, yakni kontekstualisasi (Alkitab terjemahan) atau proses penyampaian pesan Alkitab (Amanat Agung); kedua, kontekstualisasi (sosiallinguistik), penggunaan bahasa dan wacana sebagai aspek yang relevan dari situasi interaksional atau komunikatif; contextualism, koleksi pandangan dalam filsafat yang menyatakan bahwa tindakan hanya dapat dipahami dalam konteks.[4] Kontekstualisasi berarti mengkomunikasikan injil dalam hal tepat untuk dimengerti oleh jemaat. Dalam bidang penerjemahan Alkitab dan interpretasi, kontekstualisasi adalah proses untuk menempatkan makna sebagai alat menafsirkan lingkungan di mana teks atau tindakan dijalankan.[5] Kontekstualisasi diadopsi oleh gereja presbiterian di AS oleh pertemuan para ulama dalam dana pendidikan teologi.[6]
Kontekstualisasi pertama kali muncul dalam terbitan TEF (Theological Education Fund atau Dana Pendidikan Teologi) pada tahun 1972. Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau sebuah semboyan, melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman Tuhan yang telah menjadi daging di dunia. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih dalam dari pada itu. Kontekstuaalisasi tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia  demi keadilan.[7] Teologi tidak lain dan tidak bukan adalah mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Teologi juga adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.[8]  
Kontekstualisasi bersifat dinamis bukan statis. Kontektualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Kontektualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Berkaitan dengan hal ini, maka kontekstualisasi berarti bahwa  kemungkinan-kemungkinan pembaruan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama (dilihat dari dasar injil). Jadi kontektualisasi menjadi ciri utama refleksi teologis yang autentik.[9]
Dengan adanya teologi kontekstual memperlihatkan kepada kita bahwa adanya penghargaan terhadap agama-agama suku. Teologi ini menekankan keprihatinannya atas berbagai prinsip penafsiran, yakni penafsiran iman Kristen dalam situasi lintas-budaya tetapi tetap berakar pada Alkitab. Teologi kontekstual menekankan perhatiannya kepada kepedulian penuh terhadap kebudayaan sebagai acuan berteologi dan artinya bagi dunia dan bagi cara pandang masyarakat, mengutamakan juga penekanan Alkitab (perpaduan pengungkapan relasi antara pandangan dunia alkitabiah dan pandangan dunia kebudayaan non-Barat). Selain itu, teologi kontekstual juga berusaha mengakar-ulangkan iman Kristen ke dalam setiap kebudayaan dan merumuskan kembali teologi Kristen ke dalam cara berpikir dari setiap kebudayaan atau dengan kata lain teologi kontekstual menitik-beratkan apa maksud Allah dalam suatu konteks budaya dan sejarah tertentu.[10]

2.        Makna Kontekstualisasi
Dari hal di atas kita dapat melihat makna dari teologi kontekstual, yakni teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seorang hidup dan berkarya. Teologi kontekstual harus mampu menafsir dan membangun, artinya bahwa tidak hanya ada jawaban-jawaban teologis yang tradisional yang dapat dipahami dengan cara yang berbeda, tetapi ada berbagai pertanyaan yang berbeda dalam setiap budaya.[11]

3.        Hakikat Kontekstualisasi[12]
Kontekstualisasi menekankan keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi, kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama. Dalam hal ini, kontekstualisasi mencegah agar amanat Alkitab tidak dibelenggu dan ditaklukkan oleh konteks.

B.       MODEL-MODEL KONTEKSTUAL DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA

1.        Model-Model Kontekstualisasi
Adapun model-model kontekstualisasi menurut David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, yakni sebagai berikut:[13]
a.       Metode dialog liberal - mencari kebenaran
Metode ini dimulai dari dialog antara orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan yang hidup. Peserta-pesertanya adalah dari agama Kristen, Muslim, Budha dan Hindu. Programnya mencakup kesempatan beribadah bersama secara sukarela di bawah tema “makna dan praktik spiritualitas”. Dialog tersebut berfungsi sebagai tanda pengharapan, memperkenalkan kepada mereka suatu spiritualitas baru antar iman. Dialog ini bukan merupakan tujuan, tetapi permulaan dari kontekstualisasi. Metodenya adalah mencari kebenaran (baru) melalui dialog yang tidak bertikai. Hasilnya, yakni dapat memulai hubungan baru antara Allah dan umat manusia serta antara manusia dan manusia lain.
b.      Metode dialektis neo-liberal – menemukan kebenaran
Metode ini diambil dari teologi pembebasan Gutierrez. Ia tidak mulai dengan Alkitab (bahkan dengan tradisi), tetapi dengan tanggapan peka terhadap penderitaan manusia. Tujuannya adalah perbaikan dunia dan bukan kelahiran baru manusia. Teologi itu dipahami sebagai penggenapan fungsi kenabian, karena dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah bermaksud untuk mengungkapkan dan memberitakan maknanya yang mendalam. Secara pribadi hal ini terlihat di mana bangsa-bangsa, kelas-kelas sosial, dan orang-orang berjuang untuk membebaskan diri dari dominasi dan penindasan oleh bangsa-bangsa, kelas-kelas sosial dan orang-orang lain. Kerangkanya adalah perjuangan dialektis antara bangsa-bangsa, kelas-kelas dan orang-orang dalam dunia masa kini. Metodenya adalah menemukan kebenaran dengan ikut serta dalam perjuangan tersebut dan menghadapkan agenda dunia secara kenabian yang bijak. Hasilnya “hermeneutika Injil yang politis” yang menyerukan manusia untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik (yang dianggap sama dengan mendirikan Kerajaaan Allah).
c.       Metode dialektis neo-ortodoks – menemukan kebenaran
Pandangan ini dekat dengan pandangan neo-liberal dalam metodenya. Persamaannya terdapat dalam tekanan pada konteks historis masa kini, yakni konteks dalam mana kita hidup dan berteologi. Perbedaan yang mendasar lebih percaya kepada jiwa si pelaku teologi, sedangkan yang disebut belakangan lebih percaya pada roh Allah yang menerangi teologi.
d.      Metode didaktis ortodoks – mengajarkan kebenaran
Pandangan-pandangan Nicholls, Kato, Matheny, Geisler, Inch, Parshall, Escobar, Richardson tentang kontekstualisasi muncul dari komitmen kepada Alkitab yang berwibawa penuh dan minat untuk menginjili dunia sesuai dengan Amanat Agung Kristus (Mat. 28:16-20). Istilah-istilah kunci dalam metode ortodoks(dialog, Injil, iman, ajaran) mendapatkan artinya dari Alkitab. Konteks kontekstualisasi adalah sistem-sistem kepercayaan bukan Kristen. Metodenya adalah mencari dasar bersama atau membangun jembatan komunikasi sehingga orang-orang yang tidak percaya dapat diyakinkan akan kebenaran Injil Alkitabiah, lalu mengajarkan Alkitab kepada mereka yang sudah diyakinkan. Hasil yang diharapkan adalah transformasi rohani dari orang yang percaya kepada Kristus dan hal menjadikan bangsa-bangsa menjadi murid-murid-Nya.


 Selain model-model di atas, ada pun model-model yang lain menurut Robert J. Schreiter, C. PP. S, yakni:[14]
a)    Model Etnografis
Model etnografis secara khusus memberikan perhatian kepada jati diri. Berbagai keprihatinan itu sering menjadi jelas dalam tahap-tahap akhir kolonialisme atau dalam penegasan kembali suatu jati diri dan martabat yang telah disangkal. Kebutuhan utuk menjalin kebangsaan di antara masyarakat yang beraneka ragam, untuk menciptakan berbagai jati diri dan loyalitas supra-kesukuan, mempertahankan sejumlah kemiripan dari hubungan dan ritual keluarga tradisional di tengah-tengah dislokasi adalah menjadi tugas dari model ini.
Adapun kelemahan-kelemahan dari model ini, yakni perkembangan suatu teologi lokal yang kontekstual sering dilakukan sebagai suatu proyek belaka. Akibatnya, berbagai masalah yang mungkin untuk dibahas tidak mendapat waktu untuk dialog tersebut. Selanjutnya, pendekatan ini juga mengabaikan berbagai faktor yang berkonflik dalam lingkungannya demi mempertahankan keselarasan dan perdamaian, dapat menjadi korban romantisisme budaya sehingga tidak mampu melihat dosa dalam pengalaman historis.
b)   Model Pembebasan
Model ini berkonsentrasi pada dinamika-dinamika perubahan sosial dalam masyarakat. Pendekatan-pendekatan ini khususnya dikaitkan dengan Amerika Latin, tetapi juga dapat ditemukan di mana pun orang-orang Kristen mengalami penindasan politik, ekonomi dan budaya. Model pembebasan menganalisis pengalaman yang dijalani sekelompok masyarakat untuk mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang menindas, perjuangan, kekerasan dan kekuasaan. Atau dengan kata lain model ini memusatkan perhatian pada perlunya perubahan. Metode ini dapat ditemukan dalam lagu-lagu, dalam kelompok dan dalam hati orang yang tertindas. Model ini juga memiliki kelemahan yakni lebih memberi perhatian kepada jeritan rakyat daripada mendengar kesaksian Alkitab, melakukan refleksi hanya setelah mengambil tindakan, terlalu memusatkan perhatian pada ketidakmampuan dan mengenyampingkan berbagai perwujudan anugerah.

2.      Kontekstualisasi di Asia[15]
Teologi kontekstualisasi di Asia telah bertumbuh sampai sekarang dan mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya teologi-teologi kontekstualisasi menemukan berbagai masalah dan menimbulkan pokok-pokok perdebatan dalam bidang misiologi. Gerakan-gerakan seperti gerakan Asia menentang dominasi Eropa dan Amerika sejak awal abad XX dan gerakan tiga mandiri Kristen Cina yang sedang berjalan pada zaman Mao Ze Dong yang mengambil sikap positif terhadap revolusi Cina dengan membedakan diri dari keKristenan Eropa atau Barat yang bersifat impereialis. Gerakan-gerakan ini yang mengawali proses “Teologi yang kontekstual” di Asia. Popularisasi istilah kontekstualisasi dimunculkan oleh kalangan Theological Education Fund (TEF) tahun 1973 dan lembaga-lembaga Sekolah Tinggi Teologia di Asia Tenggara (melalui ATESEA dan SEAGST) telah memasuki atau mulai mengikut arus tersebut. Pusat-pusat perkembangan teologi kontekstual dapat direkam melalui publikasi-publikasi karya tulis para teolog Asia.
Pada dekade yang sama (1960-an), misiolog Horst Buerkle memperkenalkan sumbangan pikiran teologis dari wilayah India tahun 1966. Empat penulis dari India: Surjit Singh, John G. Arapura, J. Russel chandran dan Herbert Jai Sings. Semua penulis memperkenalkan diskusi-diskusi teologis-misiologus yang ssedang digumuli pada waktu itu, antara lain: Yesus historis dari segi India, teologi dalam konteks pikiran India, penemuan kembali akan simbol, teologi masyarakat, Samnyasa (suatu hidup yang relevan untuk India masa kini), Kristus yang kosmis. Khusus untuk memperkenalkan suara Indonesia bagi pembaca Jerman, Rolf Italiander menyunting buku dengan judulnIndonesiens verantwortliche Gesellschaft tahun 1976. Tema yang dibahas penulis-penulis Indonesia adalah sejarah, politik, masyarakat, agama dan gereja di Indonesia, namun masih berupa informasi masalah. Suaru-suara dari Asia lebih banyak lagi diperdengarkan dalam forum-forum bacaan berbahasa Inggris, seperti: buku suntingan  G.H. Anderson “The Theology of the Christian Mission”.  Dari antara 26 penulis ada 3 orang Asia: Paul D. Devanandan (India), Lesslie newbigin (Uskup Gereja India Selatan) dan Masatoshi Doi (Jepang). Sumbangan mereka mengisi diskusi sekitar kekristenan dan kepercayaan-kepercayaan yang hidup di Asia, sedangkan tentang teori misi diisi oleh penulis-penulis terkenal di Eropa dan Amerika. G.H.Anderson berhasil menyunting buku berjudul Asian Voices in Christian Theology, 1976. Sesuai judul buku ini, para penulis dari teolog-teolog yang berasal dari India (sebelah Barat) sampai Jepang (di Timur) sebanyak 9 negara: M.M. Thomas (India), Lynn A. De Silva (Srilangka), U Kyaw Than (Birma), Kosuke Koyama (dianggap dari Taiwan karena bekerja di sana sebagai misioner dan teolog), T.B. Simatupang (Indonesia), Emerito P. Nacpil (Filipina), Chaon Seng Song (Taiwan), Thongshik Ryu (Korea) dan Yoshinabu Kumazawa (Jepang). Menurut penyunting, teolog Asia mencoba untuk merumuskan suatu pemahaman mengenai iman kristiani yang relevan untuk konteks kebudayaan yang hidup di Asia. Suara-suara teologis-misiologis Asia semakin terdengar nyaring dikumandangkan oleh Douglas J. Elwood tahun 1976. Dikatakan semakin nyaring karena di sana diikutkan suara-suara yang berasal dari forum-forum resmi dari gereja-gereja atau lembaga-lembaga pendidikan teologi di Asia (EACC/CCA dan SEAGST).
Saat upaya teologi kontekstual di Asia berkembang muncullah suatu polarisasi tingkat internasional antara apa yang dikenal dengan kaum evangelikal dan ekumenikal di kalangan organisasi PI pada konferensi “Commision on World Mission and Evangelism” (CWME) tahun 1972/1973 dengan tema “Salvation Today”. Polarisasi terjadi karena perbedaan pemahaman mengenai Pekabaran Injil. Tujuan utama PI dari kaum Evangelikal adalah pertobatan, sedangkan pelayanan sosial dan aksi sosial cenderung diabaikan, karena itu dianggap bukan lagi tugas pekabar Injil.
Menurut E.G. Singgih dalam bukunya “Dari Isarel ke Asia” tahun 1982, bahwa dalam kontekstualisasi perlu dilakukan interpretasi terhadap ketiga konteks suatu kata atau gagasan tertentu:
1.      Artinya sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Suci;
2.      Artinya sebagaimana terbentuk dalam tradisi sistematis;
3.      Artinya sebagaimana yang dipahami dalam konteks setempat masa kini. “Pra-paham” dalam diri setiap orang sangat penting diperhatikan dalam upaya berteologi kontekstual. Dan sesuatu yang datang dari luar itu dapat diterima apabila ada kesesuaiannya dengan apa yang ada di dalam.

3.      Kontekstualisasi di Indonesia
Pengupayaan kontekstualisasi dalam konteks Indonesia dapat dilihat dari perjuangan yang dilakukan oleh Kyai Sadrach (1835-1924). Dengan latar belakang pendidikan di Pesantren dan pertemuannya dengan bekas gurunya serta kekalahannya dalam perdebatan dengan seorang penginjil Jawa bernama Tungul Wulung membuatya sangat tertarik pada Iman Kristen. Ia sangat terkesan ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh penginjil itu yakni orang Kristen Jawa tidak harus meninggalkan adat Jawa, orang kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa. Dengan hal ini ia dibaptis menjadi seorang Kristen. Pada tahun 1870, ia membentuk dan memimpin sebuah persekutuan Kristen di desa Karangjoso. Menurut warga desa setempat, desa itu dianggap angker namun dengan berani ia mengabarkan Injil di tempat itu. Model yang digunakan oleh Sadrach dalam penginjilan adalah berdiskusi atau berdebat. Pada tahun 1894 ia mendapat tugas untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Tengah. Orang Belanda menuduhnya sombong dan haus akan kekuasaan. Jemaat yang dipimpinnya berkembang dengan sistem organisasi yang mantap. Pada akhir tahun 1873, keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500. Hal ini menimbulkan kecumburuan dari lembaga zending dan pendeta Indische Kerk, dengan NGZV maupun dengan pemrintahan Belanda. Sadrach dan pengikutnya dituduh bahwa mereka belum hidup benar secara Kristen bahkan ajaran dan praktik Sadrach dinilai sesat dan mengarah pada berhala.[16] Selain itu mereka juga dituduh mengancam kestabilan, ketentraman dan ketertiban umum juga menuduh Sadrach sebagai pimpinan yang sesat dan ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaat Sadrach merupakan gejala keagamaan yang unik karena merupakan hasil karya para Pekabar Injil awam Kristen Indo Eropa yang merasa terpanggil untuk menginjil orang-orang Jawa. Mereka lahir dari budaya Jawa yang dipelihara, dikembangkan dan dibangun oleh mereka. Dari hal ini muncullah suatu jemaat pribumi berpenampilan Jawa.[17] Sadrach mengembangkan suatu jemaat Kristen pribumi yang menampakkan diri dalam organisasi, kepemimpinan, pengajaran dan tradisi yang bukan hanya mengakar pada dan diilhami oleh berbagai nilai tradisional dan adat Istiadat Jawa, tetapi juga merupakan koreksi terhadap nilai budaya itu sendiri. Namun hal ini mengalami kendala dari pihak Belanda yang kurang mendukung proses yang dimaksud. Muncul dan berkembangnya jemaat dapat dipahami secara baik ketika melihat perspektif kepribadian dan kepemimpinan Sadrach sebagai orang Jawa. Sadrach adalah suatu sosok yang sangat menonjol berdiri pada permukaan masyarakat Jawa yang tenang. Latar belakangnya sebagai  seorang guru ngelmu dan kyai merupakan faktor penting dalam pembentukan kepribadian dan kepemimpinannya. Dia adalah seorang pemimpin yang mandiri, sebagai penginjil yang tidak dibayar. Hal ini mendorong pembentukan jemaat setempat. Kepemimpinannya yang benar-benar Jawa, memberikan arah dan warna sedemikian rupa sehingga jemaatnya menjadi jemaat Kristen Jawa yang unik. Jemaat Sadrach berkembang bebas dari pengaruh misionaris. Jemaat Sadrach tersusun terutama dari tradisi kecil para petani yang memiliki pendiidkan melalui sistem informal yang lebih memenuhi kebutuhan dan kondisi di desa. Melalui sistem belajar magang masyarakat diajar berbagai keterampilan yang diwarisi orang tua. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan para pemuda untuk aktif dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Sebagai pemimpin jemaat, Sadrach sangat prihatin akan pendidikan pemuda dan usaha perbaikan ekonomi. Untuk itu dia menganjurkan sistem pesantren dalam bidang pendidikan sedangkan dalam bidang ekonomi, dia memanfaatkan bentuk koperasi yang telah ada dalam masyarakat, mengadakan pengumpulan dana untuk membeli sebidang tanah. Dari hal ini, kita dapat melihat bahwa Sadrach menjadi seorang pemimpin informal kharismatik yang menyatukan orang-orang Jawa Kristen di pedesaan di bawah kepemimpinannya. Sadrach juga tetap menghargai kebudayaan yang ada, karena baginya menjadi orang Kristen bukan berarti meninggalkan adat. Untuk menyelaraskan iman Kristen dan kebudayaan Jawa, Sadrach cenderung mendekati berbagai perbedaan dari kaca mata seorang Jawa dengan mencoba mengharmoniskan sebanyak mungkin unsur budaya Jawa dengan keKristenan dan memasukkan unsur Islam Jawa dalam kehidupan jemaat (mempertahankan pemisahan laki-laki dan perempuan dalam ibadah; dll). Hal ini tidak dimaksudnya untuk membuka jalan bagi sinkretisme, tetapi ia memilih adat atau tradisi yang dapat dikristenkan dengan berhati-hati. Contoh dalam hubungan dengan penggunaan adat Jawa, yakni bentuk gereja di Karangjasa dengan model masjid Jawa dengan penginterpretasian berbagai simbol secara unik berdasarkan pengertian Kristen (atap bersusun tiga merupakan simbol trinitas, cakra sebagai pengganti bulan sabit diambil dari cerita wayang diinterpretasikan sebagai lambang kuasa Injil Allah). Inilah tahap awal pempribumian teologi.[18]
Mengenai bangunan Gereja, biasanya dibangun dengan bahan-bahan yang terdapatt di desa yakni atap dari rumput dan daun kelapa, dindingnya dari bambu dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Bangunan ini mirip dengan langgar (rumah adat) yang ada di setiap desa di Jawa. Jemaat yang lebih makmur biasanya mendirikan bangunan yang lebih baik, mirip dengan Masjid di desa yang berbentuk seperti rumah biasa dengan bangunan terbuka dan atap bertingkat tiga dan serambi yang luas. Bangunan Gereja yang berbentuk Masjid menandakan bahwa mereka masih menyatu dengan kehidupan dan warisan masyarakat desa. Selain lonceng Gereja mereka tetap menggunakan beduk sebagai panggilan kebaktian, bebrapa gereja menggunakan kentongan yang terbuat dari bambu atau kayu sebagai tanda bahaya di malam hari, beberapa gereja menggunakan meja kecil sebagai mimbar, Alkitab diletakan di atas meja itu. Jemaat duduk di lantai beralaskan tikar anyaman yang kasar (terbuat dari jalinan daun kelapa) gereja biasanya didirikan di halaman rumah imam, gereja di Karangjasa memiliki atap tiga tingkat dan sebuah senjata cakra (bentuk cakra bulat dengan beberapa anak panah yang menjulur) diatas atap sebagai pengganti salib. Dalam hal berpakain selama kebaktian jemaaat memakai busana jawa yang terdiri dari sarung atau kain batik, surjan atau kemeja dan sebuah kain penutup kepala. Pria diminta menanggalkan penutup kepala mereka selam upacara kebaktian, tetapi di beberapa daerah tertentu wanita diminta menutup kepalanya dengan kain putih kecil. Upacara kebaktian diadakan setiap hari  minggu (pukul 09.00 pagi dan 16.00 sore) dan pada hari-hari kudus. Pemimpin kebaktian adalah imam. Dalam mendukung kebaktian Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para pengikutnya, yang di dalam berisi doa bapa kami, 10 perintah Allah, doa-doa untuk kepentingan individual dan komunal. Pria dan wanita duduk terpisah. Ketika imam yang diikuti para penatua masuk semua pria berdiri, bersama mengucapkan doa bapa kami dan setelah itu duduk. Lalu kantung persembaha diedarkan. Kebaktian dimulai dengan persembahan, doa syukur oleh imam, nyanyian pujian jawa (tembang) lalu dua pembacaan Alkitab yang diselingi nyanyian diantara kedua bacaan itu. Khotbah lebih sering didasarkan pada pengalaman pribadi daripada pemahaman Alkitab, kebaktian diakhiri oleh doa syukur dan pemberkatan.[19]  

j          Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia[20]
Para pemimpin jemaat gereja-gereja “arus tengah” di Indonesia sedang dalam keadaan panik, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.  Hal ini dikarenakan adanya arus balik yang bermula dengan gerakan Pentakosta  Baru atau Kharismatik dan selanjutnya gerakan  “Injili”. Berbagai gerakan ini menganut strategi “proselitisme ke dalam”, artniya beroperasi di kalangan mereka yang telah menjadi anggota gereja tertentu (remaja, pemuda, mahasiswa, kelompok-kelompok profesi, usahawan dan tokoh-tokoh masyarakat). Dalam hal ini, banyak pemimpin jemaat hanya dapat melongo ketika melihat jemaat mereka masuk ke dalam aliran tersebut. dari mereka banyak yang menjadi para aktivis yang sangat giat. Bukan hanya anggotanya saja tetapi juga sebagian dari para pemimpin gereja.
Sekarang ini berbagai gejala ketegangan serta polarisasi telah semakin tampak pada dua tingkat. Di tingkat pertama adalah tingkat nasional (PGI, PII, STT, STTI). Kita dapat mengatakan bahwa ketegangan dan polarisasi pada tingkat nasional belum sampai pada titik kritis yang serius tetapi hanya bersifat sementara saja. Pada tingkat yang kedua, kedua hal ini pada tingkat jemaat telah menjadi semakin kritis dan serius. Para pemikir dan teolog Kristen di Indonesia menganggap berbagai gejala di atas terlampau kecil dan remeh dan hanya ibarat mode yang top. Namun, hal ini perlu ditanggapi serius  karena tidak hanya merupakan masalah waktu sekarang melainkan juga menyangkut masa depan. Gejala ini membuktikan betapa rapuh dan tipisnya penghayatan secara pemahaman teologis warga jemaat pada umumnya. Hal ini menunjukkan kegagalan kita dalam membina. mereka tertarik karena berbagai khotbah yang menyangkut masalah praktis sehari-hari, nyanyiannya menggerakan dan mengentarkan hati, suasananya akrab, hangat dan hidup. Ini menunjukkan adanya kebutuhan jemaat.
Melihat permasalahan di atas, kita memerlukan sebuah teologi yang kontekstual, suatu suasana yang membantu menguatkan mereka dalam pergumulan sehari-hari. Gerakan Pentakosta Baru dan Kharismatik memang secara gambling menunjukkan kemiskina spiiritualitas dalam kehidupan jemaat. Hal ini dikarenakan keduanya membuat orang berorientasi pada diri sendiri, menyuburkan cirri introvert, insklusif, individualistis, dualistis dari tradisi teologi yang justru harus dihindari. Yang satu membuat orang asyik dengan kenikmatan rohani diri sendiri dan yang lain cenderung mmebuat orang menjadi picik karena terlampau mengagungkan kebenaran dan keunggulan kelompok sendiri. Ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru keran teologi kontekstual selalu bersifat dinamis dan kreatif, cepat, tanggapan terhadap konteksnya.
Sekarang bagaimana mempertemukan teks dan konteks? Hal ini amat tergantung pada pemahaman kita mengenai hakikat teks dan konteks serta tempatnya di dalam teologi. Teologi selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yakni bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya adalah mengenai kebenaran dan keselamatan serta kesejahteraan manusia bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya berlaku bagi siapa saja, di mana dan kapan saja. Untuk memulai hal ini, haruslah berpatokan kepada Alkitab, yang di dalamnya Allah berkenan menyatakan kehendak-Nya yang kekal dan universal melalui berbagai tindakan-Nya pada suatu konteks ruang dan waktu,  secara historis dan kontekstual. Teologi juga harus memperhatikan tradisi, yang adalah sumber kesaksian tentang upaya umat Kristiani untuk memahami kehendak Allah di sepanjang masa. Selanjutnya, dari semua hal ini diambil kerygmanya dari konteks untuk hadir dalam konteks itu. teologi kontekstual juga mengalami beberapa kendala, yakni menghubungkan yang universal dan partikular.


4.   Relevansi Bagi Gereja (Kontekstualisasi dalam GMIT dan GKS
a)    GMIT
KeKristenan dikenal di Timor (Barat) akibat kedatangan para pendagang Eropa. Mula-mula datanglah para pedagang Portugis,  kemudian disusul oleh bangsa Belanda pada abad ke 17. Timor memiliki dua komoditi unggulan, yakni cendana dan lilin, namun secara ekonomi Timor tidaklah semenarik Maluku dan daerah Indonesia Timur lainnya yang menghasilkan rempah-rempah. Periode pekabaran injil baru mulai intensif sejak abad ke-19 karena berdirinya sebuah badan misi NZG dan  karena perubahan politik yang diluncurkan oleh raja Willem I pada tahun 1814. Di mana semua urusan gereja itu berada di bawah peraturan pemerintahan Belanda. Pendeta R. Le Brujin menjadi pendeta di Kupang.[21]
Pdt. P. Midelkoop ditempatkan di Timor (So’e Kapan). Ia sangat memperhatikan adat istiadat dan kebudayaan Timor sehingga ia menjadi seorang ahli adat istiadat dan kebudayaan Timor. Ia sangat mencintai Timor hingga dengan meninggalnya. Sebelum ia meninggal, ia meminta agar peti jenazahnya dibungkus dengan kain Timor. Dalam kehidupannya, ia berusaha untuk mengkontekstualisasikan injil bagi orang Timor. Ia menerjemahkan nyanyian gerejawi dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Timor yang diterbitkan pada tahun 1924. Di samping itu, ia juga mengadakan penelitian tentang upacara kematian orang Timor dengan judul “suatu studi tentang ritus kematian orang Timor”.[22]

b)   GKS[23]
GKS adalah gereja Kristus di Sumba dan oleh karena gereja adalah gereja bagi orang Sumba. Orang Sumba harus tetap menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya dalam konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat-istiadat dan kebudayaan Sumba tidak seluruhnya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk melakukan kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKS sepanjang sejarahnya.
·         Arsitektur gedung gereja
Arsitektur gerejanya bergaya Eropa. Gedung gereja ini mempunyai menara dan di dalam menara ini ditempatkan lonceng gereja yang didatangkan dari Belanda. Arsitek gereja ini tidak dianggap sebagai suatu unsur asing karena bentuk gereja ini sama dengan arsitektur rumah orang Sumba. Sekalipun gedung gereja dibangun dengan menara, anggota jemaat tidak pernah percaya bahwa Tuhan Allah berdiam di dalam menara tersebut sama seperti dalam kepercayaan Marapu dan lonceng gereja tidak dipandang sebagai tanggu Marapu. Pada mulanya gedung gereja beratap alang-alang dan dindingnya terbuat dari bambu atau alang-alang juga. Namun gereja sekarang beratapkan seng dan berdindingkan tembok sesuai dengan perkembangan pembangunan di Sumba. Tata letak gedung gereja mengikuti tata letak rumah orang Sumba, yaitu memanjang dari utara ke selatan. Pada masa sekarang, banyak gedung gereja dibangun didekat jalan raya, namun tata letak Utara-Selatan tetap dipertahankan. Arsitektur dan tata letak gedung seperti demikian memengaruhi pula pola duduk anggota jemaat pada waktu beribadah. Kebiasaan duduk di rumah tampak pula pada pola duduk anggota jemaat dalam gedung gereja. Para wanita akan duduk di sebelah kanan dan laki-laki duduk di sebelah kiri. Suami akan duduk terpisah dengan isterinya di dalam gedung gereja. Para pendeta utusan tidak pernah melarang tata letak gedung gereja dan pola duduk anggota jemaat tersebut.  Karena hal-hal tersebut dipandang tidak penting dari sudut teologis.

·         Upacara Penerimaan Petobat Baru ke Dalam Gereja : Upacara Panggarau Tau (Siapakah Anda)
Upacara Panggarau Tau adalah suatu upacara yang biasa diselenggarakan dalam masyarakat Sumba untuk menyatakan perdamaian antara kedua pihak (paraingu) yang berperang serta penerimaan seorang penduduk desa yang merantau dan kini kembali lagi ke desanya. Upacara ini dilaksanakan di tempat terbuka sehingga dapat disaksikan oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini berlangsung sebagai berikut : kedua belah pihak masing-masing diwakili oleh seorang juru bicara. Juru bicara pihak perama menanyakan dari mana mereka datang, asal-usul, keturunan, maksud dan tujuan kedatangan mereka. Juru bicara pihak kedua menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. pada akhirnya pihak pertama menerima pihak kedua dengan ditandai oleh pemotongan seekor babi atau seekor kerbau serta tukar-menukar tempat sirih.  Upacara ini bermakna bahwa sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mengenal. Pihak yang datang dicurigai sebagai pihak yang bermaksud mencelakakan pihak penerima tamu. Pihak yang pertama harus menjelaskan jati diri dan maksud kedatangan mereka. Setelah pihak pertama mengetahui maksud kedatangan pihak kedua, pihak kedua diterima sebagai saudara pihak pertama.
Bentuk upacara ini diambil oleh GKS untuk menerima para peserta persidangan sinode dan petobat baru, terutama apabila petobat baru ini dalam jumlah yang besar. Hal ini merupakan inisiatif Pdt. Ratubandju (1967) yang kemudian dipergunakan dalam jemaat-jemaat lain.  Hal ini dipandang tepat karena karena melalui baptisan mereka diperdamaikan dengan Kristus. Hal ini juga dilakukan di depan masyarakat sehingga masyarkat mengetahui bahwa mereka telah meninggalkan kepercayaan Marapu dan menjadi Kristen. Mereka telah diterima kembali menjadi keluarga Allah.

·    Lambang Kuda Putih
Lambang yang dipergunakan oleh GKS adalah kuda putih yang ditunggangi oleh seorang yang berjubah putih dan bermahkota, sambil membawa panah pada tangannya yang siap untuk ditembakkan  kepada musuhnya (berdasarkan Wahyu 6:2). Lambang ini adalah hasil kerja seorang guru Belanda, keluarga seorang pendeta utusan di Sumba, namun ia sendiri tidak pernah ke Sumba. Pada waktu GKS berdiri, ia mengusulkan hal ini dengan penjelasan demikian, kuda putih merupakan binatang yang karab dengan masyarakat Sumba , sehingga binatang itu bukanlah binatang yang asing bagi masyarakat Sumba.  Seseorang yang menunggangi kuda dan membawa panah memiliki makna tentang tugas dan panggilan di Sumba, yakni memberitakan injil Kristus di Sumba. Dengan demikian, makna ini akan memiliki profetis.
Menurut Pdt. Ratubandju, lambang yang dikirimkan kepada GKS agak berbeda denga lambang yang dipakai sekarang. Dalam lambang aslinya, penunggang kuda tidak memakai jubah. GKS berpendapat bahwa seseorang yang tidak berpakaian merupakan hal yang kurang etis dan tidak sesuai dengan kebiasaan orang Sumba. Penggunaan kuda putih juga merupakan hal yang tepat, karena kuda putih (kenusu) banyak dipergunakan oleh ara raja dan bangsawan Sumba sebagai kuda tunganggannya. Pemakaian lambang ini dipandang sebagai upaya kontektualisasi di Sumba.

·           GKS dan Nyanyian Gerejawi
Pada zaman zending, penerjemaham mazmur ke dalam bahasa Sumba telah diusahakan. Van Djik menerjemahkan 19 mazmur ke dalam dialek Waijewa, di jemaat Payeti, Sumba Tengah, Mazmur dalam dialek Kambera dinyanyikan sejak tahun 1930 kemudian dinyanyikan oleh berbagai jemaat lain di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kitab Nyanyian pertama dalam dialek Kambera diterbitkan pada tahun 1941 oleh KOmisi Lektur Zending Gereja-Gereja Gereformeed di Sumba dengan judul Na Ihina Hoeratoe. Na Loedoe Pamalangoe, yang artinya berisi Alkitab dan Nyanyian Mazmur. Kitab nyanyian ini berisi 37 Mazmur dan 11 Nyanyian Pujian serta dilampiri dengan terjemahan Sepuluh Hukum, Dua Belas Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Nyanyian untuk anak-anak yang berjudul Na Ludu Bidi Ana diterbitkan pada tahun 1950 yang disusun oleh U. Hina Kapita Mbanimeha yang dimulai sejak tahun 1947. Nyanyian ini disusun dengan melihat berbagai segi kehidupan. Dengan demikian, penyusun berusaha menyusunnya berdasarkan pola pembagian tradisional nyanyian yang dikenal dalam masyarakat Sumba.




REFLEKSI

Dari semua yang telah kami uraikan di atas memberikan kepada kita pencerahan bahwa kontekstualisasi bukan untuk menghilangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada tetapi, memakainya sebagai jalan masuk untuk Pekabaran Injil. Seperti apa yang Yesus pesankan kepada kita dalam Matius 28 :19-20, pengikut-pengikut Kristus bertanggung jawab untuk menjadikan semua bangsa muridNya. Hal ini bukan berarti mengkristenkan semua orang namun dengan cara hidup kita setiap orang dapat belajar melakukan kehendak Tuhan. Berteologi tanpa konteks adalah teologi yang mati.
Dari materi yang disampaikan diatas, ada beberapa hal yang kita perlu refleksikan secara lebih mendalam untuk kemudian ditarik relefansinya dalam kehidupan bergereja dan berteologi kita saat ini, yakni :
1.      Metode berteologi yang dipakai harus mengacu pada konteks Asia yang ditinjau dari berbagai segi kehidupan manusia (adat, budaya, filsafat, agama, sejarah, bahasa), menunjukan kepada kita berteologi secara Kristiani haruslah memperhatikan konteks  di mana Firman Tuhan diungkapkan mulai konteks Alkitab, sistematik sampai konteks masa kini.
2.      Bila mencermati metode Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Sadrach, perlu diperhatikan karena Sadrach terus menjaga identitas suatu budaya. Melihat hal ini kitapun harus belajar dari dia, menjadi Kristen bukanlah meniadakan kebudayaan-kebudayaan kita, bagi kami Kristus datang dan memperbaharui kebudayaan-kebudayaan kita karena itu kebudayaan asli kita perlu dihargai dan dihormati.
3.      Pada konteks sekarang ini, munculnya berbagai dedominasi di kalangan Kristen sendiri. Hal ini menimbulkan jemaat lebih memilih masuk kedalam dedominasi itu dan meninggalkan Gereja asalnya. Melihat akan hal ini para pendeta terkhususnya pendeta GMIT harus jeli melihat masalah ini dan mencari solusi yang tepat. Pendeta harus mampu memnuhi kebutuhan jemaat karena apa yang diberikan belum tentu memnuhi kebutuhan yang diperlukan.
4.      Dari materi yang dibahas diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, adanya penghargaan terhadap agama-agama suku dan kebudayaannya. Kebudayaan tidak dihilangkan, tetapi diambil makna positifnya serta dijadikan jalan masuk untuk Pekabaran Injil. Dalam zaman modernisasi kebudayaaan perlu dilestarikan. Salah satu sumbangan baik yang dilakukan oleh Gereja adalah gubahan lagu-lagu daerah dijadikan sebagai kidung pujian, tari-tarian dimasukan dalam unsur liturgi, pemakaian bahasa daerah (Alkitab dalam bahasa daerah) dan lain-lain.
5.      Jika di lihat dari perjuangan dan kecintaan pak Middelkoop terhadap budaya, mendorong kita untuk terus mencintai dan melestarikan kebudayaa. Kita sebagai orang-orang yang berbudaya sebenarnya jangan meninggalkan bahkan berusaha meninggalkan budaya tetapi terus memelihara dan menjaga kelestarian budaya sehingga kebiudayaa asli tetap hidup. Kebudayaan asli mendukung kita menjadi seperti sekarang dan ketika dia menjadi baik karena kita pun baik bersamanya.






















DAFRTAR PUSTAKA

Wellem, F. D. Injil dan Marapu : Suatu Studi Historis- Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba Pada Periode 1876-1990 . Jakarta : BPK Gunung Mulia
Darmaputera, Eka (Peyunting), Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004
Schreiner, Robert, Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011
Bosch, J. David, Transformasi Misis Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009
Hesselgrave, J. David, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010
Adams, J. Daniel, Teologi Lintas Budaya : Refleksi Barat di Asia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010
Campbell-Nelson, John. et. al. (eds), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, Jakarta : Persetia, 1995
Partonadi, Soetarman S., Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya : Suatu Ekspresi keKristenan Jawa pada Abad IX, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001
Telnoni, J A (Penyunting), Apostelo Su :  Aku Mengutus Kamu, Kupang : CV. INARA
Drewes. F B*Mojau Julianus, Apa Itu Teologi : Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011
Colley, Frank L., Benih yang Tumbuh XI, Jakarta : LPS DGI, 1976
Papper SGI I, Kaum Awam dan Pekabaran Injil, Kupang


[1]  B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 153-154
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Konteks, diakses di Kupang, Selasa,  24 April 2012.  Pukul 14.53 
[7] David J. Hesselgrave *Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2010, hal. 48-51
[8]  Eka Darmaputera, Konteks Berteologi Di Indonesia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004, hal. 9-17
[9]   David J. Hesselgrave *Edward Rommen, Op. Cit. hal. 52
[10]  Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya- Refleksi Barat Di Asia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 6, 2010, hal. 82-85
[11]  Ibid, hal. 92
[12]          B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 156, 159
[13]          David  J. Hesselgrave *Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2010, hal. 185-190
[14]  Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 9, 2011, hal. 24-29
[15]   John Campbell-Nelson, Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual, Jakarta: Persetia, 1995, hal. 120-129
[16]  Paper SGI 1, Kaum Awam dan Pekabaran Injil
[17]  Soetarman S. Partonadi, Komunitas Sadrack dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada     abad IX, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001, hal. 1-2
[18]  ibid, hal. 125-127
[19]  Soetarman S. Partonadi, Op. Cit., hal. 151-156
[20]  Eka Darmaputera, Konteks Berteologi Di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hal. 3-9
[21] Merry Kolimon, dkk, Apostelo Su, Kupang : Universitas Kristen Artha Wacana, hal. 7-9
[22] Frank. L. Cooley, Benih yang Tumbuh XI, Jakarta : LPS DGI, 1976, hal. 324-325 
[23] F. D. Wellem, Injil dan Marapu, Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-1, hal. 268-273

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan konflik dan upaya perdamaian Israel vs. Gaza/Palestina

Dalam konflik Israel vs. Gaza/Palestina, berbagai pihak dan entitas memainkan peran yang berbeda. Di bawah ini, saya akan merinci beberapa e...