"PEMILU DALAM PERSPEKTIF ETIKA UNTUK MELAYANI"
Menyimak
fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara terkini, serta mengikuti
perkembangan-perkembangan informasi yang terjadi, salah satu isu yang paling
urgen dan mencuat naik ke permukaan publik dan terus diperbincangkan diseluruh
tataran kehidupan warga Negara adalah informasi menjelang persiapan pelaksanaan
pemilu diberbagai daerah sebagai proses siklus rotasi kepemimpinan dalam
mendinamikai makna demokrasi di Indonesia. Menelisik juga beberapa rekomendasi
pikiran yang dipublikasi lewat tulisan pada media cetak tentang bagaimana
hakikat pemilu itu dapat ditanggapi secara utuh dan menyeluruh baik oleh
pemimpin dan warga Negara dalam kapasitas memiliki tangungjawab yang sama dalam
hak dan kewajiban dalam politik, pemilu dan demokrasi di Indonesia diatas
kedaulatan rakyat. Tentunya menjadi harapan kita ketika kita diperhadapkan pada
kondisi di tahun 2015 dengan hiruk pikuk nuansa kehidupan sosial politik yang
penuh warna, dan agenda terbesar pemilu diberbagai daerah diseluruh Indonesia
untuk dapat membawa kecenderungan positif terhadap pengaruh kehidupan bernegara
untuk mewujudkan kedamaian, keadilan, kebenaran, kesejahteraan, keutuhan
ciptaan, dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih. Sehingga hakikat pemilu
dan produk hasil pemilu, jelas sebagai bentuk panggilan akan Tuhan dan
panggilan akan lingkungan dalam bingkai demokrasi bangsa.
Berkaca kembali
pada pemilu 2004 proses awal kedaulatan rakyat benar-benar dijalankan dan
meneropong pemilu yang akan dilaksanakan pada 09 desember 2015 mendatang untuk
pemerintah daerah, kabupaten dan kota. Pemilu
bukanlah proyek segelintir elite tetapi proyek besar seluruh rakyat Indonesia
dan sudah saatnya pengelolaan seluruh kegiatan pemilu desember 2015 mendatang
diarahkan pada prinsip kemitraan. Maksud daripada prinsip kemitraan yaitu
menjadikan warga Negara sebagai teman sekerja dalam pemerintahan dalam meletakkan
fondasi awal pemerintahan yang baru, bukan lagi objek para elite dalam proses
mencari suara secara massal. Pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya dapat
kita petik hasil yang terkandung didalamnya bahwa pemilu belum seutuhnya
diarahkan kepada muara jujur, bersih, adil, bebas, dan rahasia. Kalaupun sudah,!
mungkin saya bisa mengambil hipotesis sementara bahwa hanya bebas dan rahasia
yang telah dijalankan tetapi jujur, bersih dan adil masih jauh dari harapan
terhadap kenyataan yang ada.
Politik Dan Pemilu
Implementasi
nyata dari sebuah Negara yang menganut asas demokrasi adalah tidak mengabaikan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam kapasitas suara rakyat
adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Hal ini mengandung makna konkrit bahwa
ketika pemilu diimplementasikan sebagai alat politik dan dipakai untuk memilih seorang
pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi. Itu artinya rakyat sebagai pemegang
kendali penuh dalam politik, pemilu, dan demokrasi. Rakyat hanya memberikan
tugas, tanggungjawab kepada pemimpin terpilih sebagai pemimpin yang melayani
rakyat, bukan pemimpin yang menguasai untuk berkuasa. Mengutip makna politik
yang didengungkan oleh Johanes Leimena bahwa politik bukanlah sebuah alat
kekuasaan, tetapi sebagai etika untuk melayani. Sebuah catatan penting yang
harus digaris bawahi bahwa siapapun dia
yang hidup diatas dapur politik dan menjadi pemimpin dari proses hasil
pemilu, janganlah jadikan politik sebagai alat kekuasaan. Tetapi sesungguhnya
ketika dia seorang pemimpin dari proses pemilu dan hidup diatas dapur politik
adalah seorang pelayan yang melayani tanpa pandang bulu, tanpa memandang SARA,
dia sebagai seorang pemimpin memikul tugas moral dipundaknya dengan substansi
makna yang sangat tinggi sebagai pelayan Negara terhadap warga negaranya,
sehingga tidak ada ruang mengedepankan kepentingan kelompok maupun golongan
tetapi mengedepankan kepentingan rakyat seagai pemberi kekuasaan dalam politik.
Dalam Negara yang menerapkan sistem demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan
pemerintahan, pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan
kedaulatannya. Dengan demikian pemilu menjadi prasyarat dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat secara demokratis. Sehingga melalui pemilu
memberikan mandat yang sebenarnya kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan,
diantaranya; pertama, menjalin kontrak sosial. Maksud kontrak sosial yang
digunakan oleh JJ. Rosseau dalam kajian ilmu politik untuk menyebutkan konsep
Negara yang dilandasi perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah. Dan
juga bisa kita deskripsikan adanya pihak-pihak yang bersepakat untuk mengadakan
perjanjian dengan tujuan bersama. Kedua, terlibat dalam restrukturisasi sistem
pemerintahan. Pemerintah melibatkan warga negaranya untuk menentukan nasib masa
depan Negara dengan memilih orang yang tepat sebagai pemimpin. Ketiga,
meletakkan dasar harapan baru dengan adanya pemerintahan yang baru. Dasar
harapan yang baru dimaksudkan untuk tidak melenceng jauh dari amanah empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni ; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhineka Tunggal Ika.
Pemilu Bukan Alat Kekuasaan
Jika kita
kaitkan politik dengan pemilu, dapat kita interpretasikan bahwa pemilu juga merupakan
prasyarat politik sebagai bentuk konkrit dari dinamika perubahan yang secara
prosedural merupakan proses signifikan pada tahapan realisasi dari semangat
reformasi dan demokrasi. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa ketika pemilu
dimaknai miring oleh kita semua dalam perspektif politik, hal ini dapat
bermakna sebagai media berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan pribadi,
kelompok, golongan dalam aplikasi nilai-nilai demokrasi. Fenomena ini merupakan
hal yang sering terjadi ketika pemilu sering
dilangsungkan dan terdapat buah aib yang dipikul tanpa sadar,
diantaranya praktek money politic, penggelembungan suara, rekayasa identitas
untuk dapatkan suara, banyak janji sedikit realisasi, dan bahkan paling naas
pula tidak sering keputusan tertinggi dari hasil pemilu yang berada ditangan
rakyat kandas pada mahkamah konstitusi. Hal ini secara implisit dapat kita
maknai terdapat banyak kesalahan-kesalahan yang prinsipil dari proses
penyelenggaraan pemilu diberbagai daerah dan juga NTT khususnya. Janganlah
sejarah berulang.
Pemilu Merupakan Etika Untuk Melayani
Dengan demikian
ketika seluruh warga Negara terlibat dalam proses pesta demokrasi hal ini
menunjukkan warga Negara sudah memiliki spirit hidup berdemokrasi didalam
bingkai nasionalisme. Meskipun perlu ditelisik kembali ada beberapa hal yang
menjadi catatan penting ; pertama, banyak kebimbangan yang terdapat pada setiap
pemilih menjelang pemilu yang berdampak pada proses Golput. Kedua, menjadikan
pemilu sekedar tuntutan rutinitas musiman dalam memberikan hak pilihnya. Tetapi
juga perlu disadari oleh kita semua, baik sebagai pemimpin dalam kapasitas
penyelenggara pemerintah maupun warga Negara sebagai pemegang kedaulatan penuh,
hakikat pemilu jauh lebih dalam maknanya jika dibandingkan dengan beberapa
kemungkinan-kemungkinan diatas diantaranya ; pertama, setiap suara yang
diberikan sangat berharga bagi terbentuknya pemerintahan yang baru atas
legitimasi pilihan rakyat. Kedua, berdampak pada suatu pemerintahan yang dapat
dipercaya dan berdiri diatas dukungan rakyat. Yang terakhir dan yang paling
penting makna pemilu dalam kancah politik tidak berakhir ketika seseorang sudah
menjalankan hak politiknya dan memberikan suaranya ditempat pemungutan suara
untuk memilih kandidat pemimpin dari figure salah satu partai. Tetapi pemilu
dalam substansi politik pada asas demokrasi merupakan simpul awal diatas
landasan etika untuk melayani agar terbentuk hubungan yang baik dari pemimpin
yang melayani dengan pemegang kedaulatan yakni dari rakyat yang berimbang dan
sederajat. Katakanlah juga sebagai konsep kemitraan antara pemimpin dan rakyat
sehingga dari kedua unsur ini tidak ada yang
merasa dominan tetapi saling melengkapi. Salam Demokrasi Indonesia. TYM.
NAMA : EBENHESER TANDE MAURE
STATUS : Mahasiswa UNIVERSITAS PGRI
ALAMAT : , Jln Kincir
Tuak Sabu Lasiana 27 Kupang
HOBI : MEMBACA DAN MENULIS
NO HP : 085253660096
Email : ebenhesertandemaure@gmail.com
postingan yang baik untuk mengetahui tentang pemilu.... :D
BalasHapus