Senin, 20 Juni 2016

Gereja Kristen Sumba dan Adat Istiadat, Kebudayaan, Serta Bahasa Sumba


Tugas Semester IV Mahasiswa Fakultas Teologi-UKAW


Gereja Kristen Sumba dan Adat Istiadat, Kebudayaan, Serta Bahasa Sumba[1]
oleh Thyto Kolimo

GKS adalah gereja Kristus di Sumba dan oleh karena gereja adalah gereja bagi orang Sumba. Orang Sumba harus tetap menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya dalam konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat-istiadat dan kebudayaan Sumba tidak seluruhnya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk melakukan kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKS sepanjang sejarahnya.
·         Arsitektur gedung gereja
Arsitektur gerejanya bergaya Eropa. Gedung gereja ini mempunyai menara dan di dalam menara ini ditempatkan lonceng gereja yang didatangkan dari Belanda. Arsitek gereja ini tidak dianggap sebagai suatu unsur asing karena bentuk gereja ini sama dengan arsitektur rumah orang Sumba. Sekalipun gedung gereja dibangun dengan menara, anggota jemaat tidak pernah percaya bahwa Tuhan Allah berdiam di dalam menara tersebut sama seperti dalam kepercayaan Marapu dan lonceng gereja tidak dipandang sebagai tanggu Marapu. Pada mulanya gedung gereja beratap alang-alang dan dindingnya terbuat dari bambu atau alang-alang juga. Namun gereja sekarang beratapkan seng dan berdindingkan tembok sesuai dengan perkembangan pembangunan di Sumba. Tata letak gedung gereja mengikuti tata letak rumah orang Sumba, yaitu memanjang dari utara ke selatan. Pada masa sekarang, banyak gedung gereja dibangun didekat jalan raya, namun tata letak Utara-Selatan tetap dipertahankan. Arsitektur dan tata letak gedung seperti demikian memengaruhi pula pola duduk anggota jemaat pada waktu beribadah. Kebiasaan duduk di rumah tampak pula pada pola duduk anggota jemaat dalam gedung gereja. Para wanita akan duduk di sebelah kanan dan laki-laki duduk di sebelah kiri. Suami akan duduk terpisah dengan isterinya di dalam gedung gereja. Para pendeta utusan tidak pernah melarang tata letak gedung gereja dan pola duduk anggota jemaat tersebut.  Karena hal-hal tersebut dipandang tidak penting dari sudut teologis.
Ø  Upacara Penerimaan Petobat Baru ke Dalam Gereja : Upacara Panggarau Tau (Siapakah Anda)
Upacara Panggarau Tau adalah suatu upacara yang biasa diselenggarakan dalam masyarakat Sumba untuk menyatakan perdamaian antara kedua pihak (paraingu) yang berperang serta penerimaan seorang penduduk desa yang merantau dan kini kembali lagi ke desanya. Upacara ini dilaksanakan di tempat terbuka sehingga dapat disaksikan oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini berlangsung sebagai berikut : kedua belah pihak masing-masing diwakili oleh seorang juru bicara. Juru bicara pihak perama menanyakan dari mana mereka datang, asal-usul, keturunan, maksud dan tujuan kedatangan mereka. Juru bicara pihak kedua menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. pada akhirnya pihak pertama menerima pihak kedua dengan ditandai oleh pemotongan seekor babi atau seekor kerbau serta tukar-menukar tempat sirih.  Upacara ini bermakna bahwa sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mengenal. Pihak yang datang dicurigai sebagai pihak yang bermaksud mencelakakan pihak penerima tamu. Pihak yang pertama harus menjelaskan jati diri dan maksud kedatangan mereka. Setelah pihak pertama mengetahui maksud kedatangan pihak kedua, pihak kedua diterima sebagai saudara pihak pertama.
Bentuk upacara ini diambil oleh GKS untuk menerima para peserta persidangan sinode dan petobat baru, terutama apabila petobat baru ini dalam jumlah yang besar. Hal ini merupakan inisiatif Pdt. Ratubandju (1967) yang kemudian dipergunakan dalam jemaat-jemaat lain.  Hal ini dipandang tepat karena karena melalui baptisan mereka diperdamaikan dengan Kristus. Hal ini juga dilakukan di depan masyarakat sehingga masyarkat mengetahui bahwa mereka telah meninggalkan kepercayaan Marapu dan menjadi Kristen. Mereka telah diterima kembali menjadi keluarga Allah.


Ø  Lambang Kuda Putih
Lambang yang dipergunakan oleh GKS adalah kuda putih yang ditunggangi oleh seorang yang berjubah putih dan bermahkota, sambil membawa panah pada tangannya yang siap untuk ditembakkan  kepada musuhnya (berdasarkan Wahyu 6:2). Lambang ini adalah hasil kerja seorang guru Belanda, keluarga seorang pendeta utusan di Sumba, namun ia sendiri tidak pernah ke Sumba. Pada waktu GKS berdiri, ia mengusulkan hal ini dengan penjelasan demikian, kuda putih merupakan binatang yang karab dengan masyarakat Sumba , sehingga binatang itu bukanlah binatang yang asing bagi masyarakat Sumba.  Seseorang yang menunggangi kuda dan membawa panah memiliki makna tentang tugas dan panggilan di Sumba, yakni memberitakan injil Kristus di Sumba. Dengan demikian, makna ini akan memiliki profetis.
Menurut Pdt. Ratubandju, lambang yang dikirimkan kepada GKS agak berbeda denga lambang yang dipakai sekarang. Dalam lambang aslinya, penunggang kuda tidak memakai jubah. GKS berpendapat bahwa seseorang yang tidak berpakaian merupakan hal yang kurang etis dan tidak sesuai dengan kebiasaan orang Sumba. Penggunaan kuda putih juga merupakan hal yang tepat, karena kuda putih (kenusu) banyak dipergunakan oleh ara raja dan bangsawan Sumba sebagai kuda tunganggannya. Pemakaian lambang ini dipandang sebagai upaya kontektualisasi di Sumba.

Ø  GKS Dan Nyanyian Gerejawi
Pada zaman zending, penerjemaham mazmur ke dalam bahasa Sumba telah diusahakan. Van Djik menerjemahkan 19 mazmur ke dalam dialek Waijewa, di jemaat Payeti, Sumba Tengah, Mazmur dalam dialek Kambera dinyanyikan sejak tahun 1930 kemudian dinyanyikan oleh berbagai jemaat lain di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kitab Nyanyian pertama dalam dialek Kambera diterbitkan pada tahun 1941 oleh KOmisi Lektur Zending Gereja-Gereja Gereformeed di Sumba dengan judul Na Ihina Hoeratoe. Na Loedoe Pamalangoe, yang artinya berisi Alkitab dan Nyanyian Mazmur. Kitab nyanyian ini berisi 37 Mazmur dan 11 Nyanyian Pujian serta dilampiri dengan terjemahan Sepuluh Hukum, Dua Belas Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Nyanyian untuk anak-anak yang berjudul Na Ludu Bidi Ana diterbitkan pada tahun 1950 yang disusun oleh U. Hina Kapita Mbanimeha yang dimulai sejak tahun 1947. Nyanyian ini disusun dengan melihat berbagai segi kehidupan. Dengan demikian, penyusun berusaha menyusunnya berdasarkan pola pembagian tradisional nyanyian yang dikenal dalam masyarakat Sumba.




[1]  F. D. Wellem, injil dan marapu: Jakarta, BPK Gunung Mulia, cet. 1, hal. 268-273

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan konflik dan upaya perdamaian Israel vs. Gaza/Palestina

Dalam konflik Israel vs. Gaza/Palestina, berbagai pihak dan entitas memainkan peran yang berbeda. Di bawah ini, saya akan merinci beberapa e...