Tugas Semester IV Mahasiswa Fakultas Teologi-UKAW
Gereja Kristen Sumba dan Adat Istiadat, Kebudayaan, Serta Bahasa Sumba[1]
oleh Thyto Kolimo
GKS adalah gereja Kristus di Sumba dan
oleh karena gereja adalah gereja bagi orang Sumba. Orang Sumba harus tetap
menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya dalam
konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat-istiadat dan kebudayaan Sumba
tidak seluruhnya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk melakukan
kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKS sepanjang sejarahnya.
·
Arsitektur gedung
gereja
Arsitektur gerejanya
bergaya Eropa. Gedung gereja ini mempunyai menara dan di dalam menara ini
ditempatkan lonceng gereja yang didatangkan dari Belanda. Arsitek gereja ini
tidak dianggap sebagai suatu unsur asing karena bentuk gereja ini sama dengan arsitektur
rumah orang Sumba. Sekalipun gedung gereja dibangun dengan menara, anggota
jemaat tidak pernah percaya bahwa Tuhan Allah berdiam di dalam menara tersebut sama
seperti dalam kepercayaan Marapu dan lonceng gereja tidak dipandang sebagai
tanggu Marapu. Pada mulanya gedung gereja beratap alang-alang dan dindingnya
terbuat dari bambu atau alang-alang juga. Namun gereja sekarang beratapkan seng
dan berdindingkan tembok sesuai dengan perkembangan pembangunan di Sumba. Tata
letak gedung gereja mengikuti tata letak rumah orang Sumba, yaitu memanjang
dari utara ke selatan. Pada masa sekarang, banyak gedung gereja dibangun
didekat jalan raya, namun tata letak Utara-Selatan tetap dipertahankan.
Arsitektur dan tata letak gedung seperti demikian memengaruhi pula pola duduk
anggota jemaat pada waktu beribadah. Kebiasaan duduk di rumah tampak pula pada
pola duduk anggota jemaat dalam gedung gereja. Para wanita akan duduk di
sebelah kanan dan laki-laki duduk di sebelah kiri. Suami akan duduk terpisah
dengan isterinya di dalam gedung gereja. Para pendeta utusan tidak pernah
melarang tata letak gedung gereja dan pola duduk anggota jemaat tersebut. Karena hal-hal tersebut dipandang tidak
penting dari sudut teologis.
Ø Upacara
Penerimaan Petobat Baru ke Dalam Gereja : Upacara Panggarau Tau (Siapakah Anda)
Upacara
Panggarau Tau adalah suatu upacara yang biasa diselenggarakan dalam masyarakat
Sumba untuk menyatakan perdamaian antara kedua pihak (paraingu) yang berperang
serta penerimaan seorang penduduk desa yang merantau dan kini kembali lagi ke
desanya. Upacara ini dilaksanakan di tempat terbuka sehingga dapat disaksikan
oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini berlangsung sebagai berikut : kedua
belah pihak masing-masing diwakili oleh seorang juru bicara. Juru bicara pihak
perama menanyakan dari mana mereka datang, asal-usul, keturunan, maksud dan
tujuan kedatangan mereka. Juru bicara pihak kedua menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. pada akhirnya pihak pertama menerima pihak kedua
dengan ditandai oleh pemotongan seekor babi atau seekor kerbau serta
tukar-menukar tempat sirih. Upacara ini
bermakna bahwa sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mengenal. Pihak yang
datang dicurigai sebagai pihak yang bermaksud mencelakakan pihak penerima tamu.
Pihak yang pertama harus menjelaskan jati diri dan maksud kedatangan mereka.
Setelah pihak pertama mengetahui maksud kedatangan pihak kedua, pihak kedua
diterima sebagai saudara pihak pertama.
Bentuk
upacara ini diambil oleh GKS untuk menerima para peserta persidangan sinode dan
petobat baru, terutama apabila petobat baru ini dalam jumlah yang besar. Hal
ini merupakan inisiatif Pdt. Ratubandju (1967) yang kemudian dipergunakan dalam
jemaat-jemaat lain. Hal ini dipandang
tepat karena karena melalui baptisan mereka diperdamaikan dengan Kristus. Hal
ini juga dilakukan di depan masyarakat sehingga masyarkat mengetahui bahwa
mereka telah meninggalkan kepercayaan Marapu dan menjadi Kristen. Mereka telah
diterima kembali menjadi keluarga Allah.
Ø Lambang
Kuda Putih
Lambang yang dipergunakan oleh GKS
adalah kuda putih yang ditunggangi oleh seorang yang berjubah putih dan
bermahkota, sambil membawa panah pada tangannya yang siap untuk
ditembakkan kepada musuhnya (berdasarkan
Wahyu 6:2). Lambang ini adalah hasil kerja seorang guru Belanda, keluarga
seorang pendeta utusan di Sumba, namun ia sendiri tidak pernah ke Sumba. Pada
waktu GKS berdiri, ia mengusulkan hal ini dengan penjelasan demikian, kuda
putih merupakan binatang yang karab dengan masyarakat Sumba , sehingga binatang
itu bukanlah binatang yang asing bagi masyarakat Sumba. Seseorang yang menunggangi kuda dan membawa
panah memiliki makna tentang tugas dan panggilan di Sumba, yakni memberitakan
injil Kristus di Sumba. Dengan demikian, makna ini akan memiliki profetis.
Menurut Pdt. Ratubandju, lambang yang
dikirimkan kepada GKS agak berbeda denga lambang yang dipakai sekarang. Dalam
lambang aslinya, penunggang kuda tidak memakai jubah. GKS berpendapat bahwa
seseorang yang tidak berpakaian merupakan hal yang kurang etis dan tidak sesuai
dengan kebiasaan orang Sumba. Penggunaan kuda putih juga merupakan hal yang
tepat, karena kuda putih (kenusu) banyak dipergunakan oleh ara raja dan
bangsawan Sumba sebagai kuda tunganggannya. Pemakaian lambang ini dipandang
sebagai upaya kontektualisasi di Sumba.
Ø GKS Dan Nyanyian
Gerejawi
Pada zaman zending, penerjemaham mazmur
ke dalam bahasa Sumba telah diusahakan. Van Djik menerjemahkan 19 mazmur ke
dalam dialek Waijewa, di jemaat Payeti, Sumba Tengah, Mazmur dalam dialek
Kambera dinyanyikan sejak tahun 1930 kemudian dinyanyikan oleh berbagai jemaat
lain di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kitab Nyanyian pertama dalam dialek
Kambera diterbitkan pada tahun 1941 oleh KOmisi Lektur Zending Gereja-Gereja
Gereformeed di Sumba dengan judul Na Ihina Hoeratoe. Na Loedoe Pamalangoe, yang
artinya berisi Alkitab dan Nyanyian Mazmur. Kitab nyanyian ini berisi 37 Mazmur
dan 11 Nyanyian Pujian serta dilampiri dengan terjemahan Sepuluh Hukum, Dua
Belas Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Nyanyian untuk anak-anak yang
berjudul Na Ludu Bidi Ana diterbitkan pada tahun 1950 yang disusun oleh U. Hina
Kapita Mbanimeha yang dimulai sejak tahun 1947. Nyanyian ini disusun dengan
melihat berbagai segi kehidupan. Dengan demikian, penyusun berusaha menyusunnya
berdasarkan pola pembagian tradisional nyanyian yang dikenal dalam masyarakat
Sumba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar